Minggu, 08 Agustus 2010

Hidup Binatang Jalang

Rawamangun - Tomang kusebrangi hanya untuk menonton karya terbaru sutradara favoritku beralaskan bantal beludru ungu.

Air. Angin. Bumi. Udara. Booommm... mati. Save the world.


Cupu. I don't wanna spend my life making this kind of movie. I miss his earlier film hantu.

Turun ke bawah, banyak orang terburu-buru dengan muka penuh nafsu. Bukan menyambut pemotongan rupiah dalam rangka trend Indonesia back to sixties. Hari ini buku-buku yang kena giliran pemotongan harga jadi cuma 7 persepuluh.

Aku mencoba menahan diri, tapi aku hanya wanita lemah.

Aku ikut berburu buku.

Ayu Utami. Dewi Lestari. Pariyem. Multatuli. Semua di bawah 200 ribu. Tak percuma aku grasak grusuk antri buku.

Yang mahal-mahal tinggal rayu kakakku.

Rick Warren. Paulo Coelho. Sup Ayam. Semua berbahasa Inggris. 450 ribu.

Bahasa ibuku selalu dihargai lebih murah. Seperti rupiah.

Sadar diri.

Kapan akan kubaca semua buku ini? Padahal di rumah banyak buku dan DVD peliharaanku belum juga terjamah. Aku berjanji tak akan beli lagi sebelum semua berhasil kucicipi.

Tapi aku hanya wanita lemah.

Baru aku mengerti keinginan seorang binatang jalang.

Kuingin hidup seribu tahun lagi. Rugi ciinnnn udah beli gak dibaca. Keburu mati.

Jadi kurencanakan sisa hidupku: baca buku, baca buku, nulis buku, baca buku, kadang-kadang bikin film, baca buku, baca buku...

Baru mengerti kenapa si binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Kerjanya baca buku mulu, cinnnn, pantes dibuang. Cupu.

Apalagi kalau si binatang jalang punya BB, tambah aja gak punya waktu berburu dan mengumpulkan makanan dan berbagi cerita cinta dengan jalang-jalang lainnya.

Kuingin hidup seribu tahun lagi.

Eh... kumpulan cerpen kompas didiskon juga.

Seribu seratus tahun lagi deh cin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar