Rabu, 11 Agustus 2010

Puasa Jakarta

Puasa selalu membawa perubahan, bahkan pada Jakarta dan kuda-kudanya.

Banyak yang bertambah cynical, lelah dijejali dakwah-dakwah tanpa cinta.

Banyak yang mendadak beriman, setidaknya sebulan.

Ada yang mendadak paling tahu Tuhan.

Ada yang diam-diam bertemu Tuhan, menangis tertawa.

Ada yang diam-diam bikin undang-undang, mumpung rakyat lagi tenang.

Ada yang jam 4 udah pulang. Kebanyakan jam 4 udah pulang. Jakarta jadi merayap dan jam 7 tiba-tiba lenyap.

Ternyata semua ngumpet di restoran. Omset restoran naik 60% menjelang jam 6. Pengunjung berdesakan.

Untung rumah karya yang sedang melatih gue menyediakan tajil, rendang, dan roti boy langsung dari bogor. Jadi gue menikmati hidangan pembuka gratisan tanpa perlu berdesak-desakan dan tanpa perlu puasa seharian.

Jakarta di waktu puasa terasa lebih menyenangkan.

Selain karena jalanannya tiba-tiba bersahabat, gue juga suka puasa karena obrol-obrol setelah buka. Semua manusia yang biasanya sibuk, sekarang duduk sama-sama dan mendadak punya banyak waktu untuk obrol-obrol gak penting.

Cewe-cewe ngerumpi di dekat kolam berenang, di mana makanan berada.

Cowo-cowo gay yang biasanya mendominasi rumah ini mendadak lenyap. Mungkin pada tarawih.

Cowo-cowo straight di depan sana, dekat rokok dan asap knalpot. Mungkin mereka malas mendengarkan obrolan wanita-wanita. Apalagi kalau bukan tentang pria.

"Lo gak kepikiran kawin?" tanya si umur 27 sok 35. Biasalah yang paling muda. Selalu ingin terlihat tua.

"Soalnya temen gue ada yang gak kepikiran kawin," kata 27 sambil melirik si umur hampir 30 dengan penuh arti. Hampir 30 pura-pura gak ngerti.

"Pernah" jawab umur 32 cuek, mengawali kisah pacaran 7 tahunnya yang beda agama, diselingi 4 kali intermezzo bersama pria-pria seagama. Pacar 32 adalah seorang lelaki Batak berdada bidang, target pasar si 27. Pantes 27 tak juga dapet pasangan, ternyata stock pasarnya direbut wanita-wanita seberang.

"Buruan tentuin deh. Abis ini kalau lo putus, lo bakal putus selamanya," kata si umur 34 mengenang kisah pria kristen-nya. Putus. Dan sampai sekarang masih menanti yang lain.

Si 27 hanya diam mengamati, terpesona dengan kisah cinta si 32.

"Lo ama abang dia aja. Batak berdada bidang," kata si 34 menunjuk another 32 yang baru datang.

"Emak gue harus Islam, lebih bagus kalau bukan Batak. Ribet," kata si 32 baru yang ternyata Batak Islam.

Si 27 sudah Kristen, Batak pula. Benar-benar menantu haram.

"Gue nungguin ntar kalau lo putus aja deh, biar si Batak Kristen dioper ke gue," kata 27 pada 32 tak Batak.

32 tak batak tertawa. Kali ini ada yang berbeda di tawanya.

Hahahahahahahhahagama.

Berhakkah agama memisahkan?

Berhakkah gue bertanya? Sementara nantinya gue kawinnya ama Batak Kristen, HKBP pula.

Buat seorang sutradara yang mencoba mempertanyakan cinta beda agama, gak seru banget kalau ujungnya gue kawin ama yang seagama.

"Lo kawin ama yang lo cinta, gak masalah kalau ternyata seagama," kata si hampir 30 yang lagi jatuh cinta tapi tetap tak terpikir menikah. Padahal seagama. Sama-sama Jawa pula.

Cinta di umur 30 memang tak lagi buta. Dia tidak lagi meluap-luap tanpa logika. Penglihatannya lebih terang, tapi tetap buta warna.

Cinta. Cinta. Mengapakah kau buta warna? Tak tahukah kau kalau warna kami berbeda-beda dan tak seharusnya bersama? Tapi kau tetap datang tanpa pandang warna dan meracuni kami dengan kenyamanan dan indahnya cinta buta warna.

Adakah cinta seindah cinta buta warna?

"Cinta satu malam! Oh indahnya," kata 32 tak batak menirukan joget Melinda.

Benarkah indah kalau cuma satu malam?

"Soalnya sekarang jamannya cewe yang ngelamar. Tapi bukan pake 'will you marry me'. Udah ganti dengan 'Baby I'm pregnant" kata si 35 memulai mazhab baru bagaimana agar cinta satu malam berubah selamanya.

Tarawih! Tarawih! Bisa-bisa Melinda terlanjur dinabikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar