Sebelum 98, mahasiswa jenis aktivis itu paling heits di kampus. Tujuan mereka hanya dua, menjatuhkan Soeharto dan nyari cewe. Kalau tulisannya masuk di koran nasional, currency percewean nambah.
Gue mendengarkan cerita mereka dengan takjub. Tentang strategi mahasiswa melawan tentara yang sudah seperti cerita perang jaman Romawi lengkap dengan kode bendera dan legion-nya. Cerita tentang kondom yang berserakan setelah hari-hari pendudukan gedung MPR. Cerita tentang dewa-dewa mahasiswa ber-IP kecil tapi khatam Habermas.
"Masa lo gak pernah denger cerita ini?" katanya takjub melihat gue takjub.
Nggak pernah.
Angkatan gue semua digembosi untuk jadi enterpreneur. Aktivis gondrong-gondrong merdeka bukan lagi pujaan wanita. Yang penting kuliah bener, lulus cepat, kerja di perusahaan multinasional, lalu jadi enterpreneur bikin lapangan kerja baru. Gak perlu tahu bagaimana caranya membuat bom molotov, gak peduli di Senayan lagi ngapain.
Padahal gue kuliah cuma 3 tahun setelah 1998. Dalam 3 tahun, gue tidak lagi tahu rasanya berjuang rame-rame.
Mungkin karena gue di ITB juga. ITB pernah diduduki tentara berkali-kali jaman 70an dan 80an. Jangankan angkatan gue, angkatan yang melewati 98 pun mungkin sudah sibuk jadi enterpreneur.
Tapi setelah 98, ITB mulai dimasuki politik. Hanya saja gue tetap tidak ngeh karena gue tidak pernah main ke sana. Sampai satu per satu celana mereka mulai naik melebihi mata kaki dan tidak lagi pulang ke rumah.
Sementara gue mengerjakan TA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar