Gue pengen bikin film yang adil.
Entah kenapa script ini gak juga bisa gue selesaikan. Hati ini malah pengen ke Bandung. Mungkin gue harus mengikuti kata hati, menemui seorang dosen arsitek yang mungkin akan bisa menjelaskan banyak kekusutan soal bagaimana agar semua orang punya rumah.
"Ke Bandung macet banget," kata seorang penduduk Bekasi yang lagi dijodohin Mak Gondut ama Deden. Tadinya gue males ikut, tapi karena kasian ama Papi ya ikut juga.
Untunglah gue ikut. Akhirnya gue memutuskan naik kereta aja.
"Ini tiket terakhir, Mbak. Gak bisa milih tempat."
"Bah beruntung kali," kata Chica yang mengantarkan ke stasiun on the way beli popok.
Bukan beruntung. Sepertinya gue memang harus ke Bandung.
Gue menghubungi si dosen anti kusut, tapi dia gak bisa hari ini dan besok. Ya udah gue berhenti pijit di Zen ajalah. Mumpung angkot ini lewat sana.
Selesai pijit, entah kenapa pengen banget ke Sate Pak Gino. Padahal gue gak makan daging.
Selesai makan, seorang adik kelas arsitek datang. Dia mau ketemuan dengan temannya yang datang dari Jakarta dan masih terjebak macet di tol. Sambil menunggu temannya, gue undang duduk sama gue aja. Tempat lain penuh.
Ini pertama kalinya gue ngobrol dengan dia. Di kuliah, dia cuma another adik kelas. Ternyata dia punya jawaban atas banyak pertanyaan gua. Di usia yang masih sangat muda, minatnya dengan social housing membawanya pernah kerja di Perumnas, Developer damai yang tidak damai, tim Tsunami, tim yang mengusulkan pembangunan kampung deret sebagai alternatif penggusuran Kampung Pulo, sampai tim yang ikut menjadi konsultan di titik-titik pengembangan sekitar stasiun kereta cepat.
"Gue gak pengen punya rumah. Gue cukup ngekos aja," katanya.
Umurnya 32. Gajinya 7.5 juta. Harga kosannya 5% gaji. Ke mana-mana naik angkot dan sepeda. He seems like a true hipster, bukan hipster instagram. Jangan-jangan hipster sejati memang cuma bisa ditemukan di kota murah seperti Bandung.
Tiga setengah jam kemudian, baru temannya sampai. Sepertinya tiga setengah jam ini memang waktunya gue ketemu dia. Dan dia ketemu gue.
"Lo kayanya strategis banget," katanya.
"Bikin film yang gue mau mah gak bisa strategis. Cuma bisa beriman. Gak tahu di depan ada apa. Cuma bisa banyak berdoa sambil berjalan selangkah selangkah. Mungkin samalah sama lo, yang milihnya malah jadi arsitek social housing."
Sepertinya dia dapat sedikit kelegaan.
Padahal sudah lama gue tidak beriman. Terlalu mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karir film gue dimulai dengan iman kalau film ini harus dibuat. Dan satu per satu langkah gue dituntun sampai film itu selesai. Tidak bagus, tapi mendamaikan hati ini soal kenapa kita diciptakan beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara.
Every step is a step of faith. And every step is a beautiful surprise. Seperti ketemu dia hari ini yang sama sekali di luar rencana.
Rencana gua.