Senin, 11 April 2016

Rumah Lagi

Kenapa gue nggak mau tinggal ama orang tua? 

Kapitalisme membuat gue lebih menghargai  manusia-manusia yang bisa punya rumah sendiri. Gue gak mau dianggap kurang sukses karena gak punya rumah sendiri. 

Padahal harga sebuah image sukses adalah kita melupakan budaya leluhur kita yang  sebenarnya sangat komunal. Kebanyakan rumah tradisional di Indonesia dihuni bersama satu keluarga besar. Bapak, Mamak, Namboru, Amang Boru, Opung, Ponakan… dengan open lay out yang memungkinkan fungsi ruang berubah dari waktu ke waktu. 

Sangat modern, sebenarnya. Tahan gempa pula.

Dengan hidup komunal, gue gak harus sendirian menghadapi dunia neoliberal yang semakin kejam ini, yang tuntutan hidupnya gak lagi memberi gue ruang bermain-main. Harus selalu kerja kerja kerja dan produktif. Padahal dunia tetap berjalan dengan atau tanpa film gua. Barang dia. Jasa dia.

Tapi emang gue mau balik lagi ke masa komunal ketika hidup gue ditentukan satu keluarga besar? Jodoh ditentuin. Hobi dibatasin. Pakaian dilarang. Kerjaan diatur.  Belum lagi tetangga kanan kiri kepo ngurusin orang lain karena gak ada yang sibuk bekerja.

Dunia non komunal yang merebut sebagian kemerdekaan gue menjanjikan kemerdekaan lain. Bisa bangun jam berapa aja. Bisa telanjang guling-guling di rumah gak ada yang rewel. Bisa nanam makanan sendiri. Bisa seharian nonton DVD tanpa ada yang nyuruh kerja. Bisa pacaran.

Tentunya kalau ada pacar. 

Gak perlu berbagi sabut cuci piring dengan Mami yang lebih sayang sabun daripada takut kuman. Bisa punya kamar mandi bersih mengkilap tanpa dahak-dahak jijay.  Bisa milih furniture praktis multi fungsi tanpa ukir-ukir abad Roccoco. Pokoknya yang lebih gue.

Mencerminkan apa yang penting buat gue.

Gue.

Begitu banyak alasan kenapa hidup sendiri lebih menyenangkan. Orang dulu mungkin ketakutan hidup sendiri karena tantangan alamnya beda. Mau keluar makan, ada beruang. Mau nanam, harus bareng-bareng. Sekarang setelah ada Uber, Gojek, dan Happy Fresh, hidup komunal jadi kehilangan daya tawarnya.

Tapi mungkin ini karena kemampuan berpikir gue yang terbatas, self centered, dan gak mau berpikir panjang. Coba lihat dampak hidup non komunal yang gue bilang indah itu ke masyarakat secara luas. 

Fear. A broken society. No strong labour movement.

Kita kehilangan semua aspek yang konon syarat sebuah kumpulan orang baik satu  RT maupun satu negara berhasil membuat perubahan yang lebih baik.

Love. A united society. A strong labor movement.

Mungkin jawabannya ada di tengah-tengah. Bukan komunal. Bukan non komunal. Sebuah desain rumah komunal yang masih memberi ruang-ruang buat individu mengekspresikan diri.

Bentuknya seperti apartemen mix use saat ini tapi Fasum dan Fasos-nya lebih dominan dan dikelola bukan oleh swasta, tapi oleh penduduknya sendiri sehingga semakin hari akan semakin mencerminkan apa yang penting bagi warganya. Lingkungannya tidak dipagari tinggi biar isolated dari sekitarnya tapi connected dengan lingkungan lain.

Jadi gue bisa tetap pacaran tapi sekali-sekali ke apartemen Mami.

Dasar anak senja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar