Kamis, 07 April 2016

Di Tengah

Seorang sutradara muda belajar film ke Jerman. Sementara belajar bahasa dulu. Kalau bulan depan  dia gak keterima di sekolah yang dia mau, dia mau sekolah film di California aja.

“Kok enak banget ya? Banyak pilihan,” kata seorang Astrada laku yang jadwalnya jarang kosong tapi gak bisa punya rumah.

“Tapi ya mungkin makanya film Indonesia gak napak ya? Sutradaranya kaya semua,” sahut gue.  

“You don’t have to be poor to tell stories about poor people,” kata sutradara kaya yang baru saja membuat film tentang orang miskin yang pengen boker di mall.

Max Havelaar tidak ditulis orang miskin.

“Tapi kan gak semua orang observant kaya lo,” jawab gue. Tadinya gue ingin menyambung dengan cerita kegalauan teman kami sutradara lain yang gue temui minggu lalu, tapi gue putuskan gak jadi.  

Teman kami itu kecewa sekali dengan Pemerintah Jakarta dan Kelas Menengah Jakarta seperti kami yang tidak punya empati. Berhari-hari dia menemani masyarakat miskin kota berdemo di depan kantor presiden yang dulu mereka dukung naik tahta dengan apapun yang mereka punya. Sekarang mereka terancam tergusur kalau tidak mampu bayar uang muka rumah susun. 

“Gimana caranya punya 15 juta? Pakaian aja cuma satu. Lemari aja gak pernah tahu,” katanya sedih.

Yang membuat dia lebih sedih dan marah, komentar teman-temannya sendiri. 

Siapa suruh gak punya KTP.  Siapa suruh bangun rumah di tanah pemerintah. Siapa suruh datang Jakarta. Seakan-akan semua kemiskinan ini hanya karena si miskin malas tak mau bekerja, gak seperti kita kelas menengah pekerja keras yang layak ngupi-ngupi di kafe tiap wiken.

“Gue jadi sadar kalau semua yang bisa naik ini ya orang-orang yang bisa berkompromi. Yang gak punya sikap. Yang cari aman. Yang kaya gue ini emang akan dipinggirkan, dianggap terlalu keras, dianggap gak bisa bekerja sama, mengada-ngada.”

Gue hanya diam.

Dua-duanya sutradara yang gue hormati. Dua-duanya teman yang gue sayangi. Dua-duanya sudah memilih tempatnya.

Yang satu sudah memilih berkompromi. Mungkin duit filmnya tercemar duit pembakaran hutan. Mungkin dia harus berhadapan dengan produser kapitalis tanpa visi film apa yang bisa membanggakan tak hanya menguntungkan. Tapi setidaknya dia banyak berkarya.  Film-filmnya menjadi angin sejuk di tengah-tengah film asal keren yang menggenangi kolam kita.

Yang satu sudah memilih tak berkompromi. Dia akan berjalan bersama masyarakat miskin yang suaranya tidak mau didengar oleh media kelas menengah. Dia akan menjadi suara mereka.  Mungkin karyanya tidak akan banyak, tidak akan kaya, tapi akan menjadi karya yang akan diingat generasinya. 

Dua-duanya sudah menemukan jalannya. Dua-duanya membuat yang terbaik yang dia bisa.

Gue di mana?

Sepertinya bukan dua-duanya.

Yang satu memang anak orang kaya. Sekolahnya aja di Pasadena. Kekayaan keluarganya yang pengusaha kayu tidak akan habis dua turunan. Dan dia tidak mau punya anak, jadi cukup. Memang sudah tempatnya di sana, menjadi suara orang-orang yang berkelimpahan. Bukan berarti tidak peduli kelas lain.

Yang satu memang tidak kaya. Anak emaknya ada banyak, janganlah mengharap warisan. Bisa bertahan hidup di kontrakan saja sudah bersyukur. Sudah pas-pasan, kemalingan pula. Memang sudah tempatnya di sana, menjadi suara orang-orang yang kekurangan. Bukan berarti  tak punya harga diri dan keyakinan.

Gue berbeda. Gue tidak kaya, tidak miskin. Tidak pagi, tidak siang. Tidak air, tidak tanah. 

Sejak dilahirkan senja hari, takdir selalu membawa gue berjalan di tengah. Gue belum tahu apa artinya berjalan di tengah. Mungkin gue tidak akan pernah bersinar merah menyala. Mungkin gue akan berakhir seperti Sukarno dan gerakan Non Bloknya. Mungkin gue hanya akan menjadi lumpur karena tidak pernah memilih air atau tanah.


Tapi lumpur kan bisa jadi masker. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar