"Jadi kau di Jakarta ngapain aja? Duduk-duduk aja gak kerja?" tanya Mak Gondut sebal begitu gue sampai ke Bandung.
Daripada menjelaskan panjang lebar dan terdengar seperti alasan, mending gue beliin dia Terong Raos.
Mak Gondut mulai terbiasa dengan film ditulis sebulan, shooting sebulan, 4 bulan kemudian udah tayang. Melihat anaknya berbulan-bulan nulis satu script tanpa kepastian akan jadi atau nggak mungkin memang bikin dia frustasi.
Bayangkan aja rasanya jadi anaknya, nulis berbulan-bulan tanpa ada yang membayar. Bagaimana frustasinya.
Tapi anaknya gak frustasi. Karena di kepala anaknya semua ini pasti. Seperti ketika dia resign untuk bikin film pertamanya. Atau ketika dia bikin PT untuk bikin film ke dua. Makanya dia selalu menulis, walau mamaknya selalu frustasi.
"Dia udah mau bikin PH lho, Tid," kata Indri menceritakan seorang teman.
"Bagus dong?" jawab gue.
"Iya kau kayak dialah. Tangguh. Kerja keras," kata Mak Gondut.
Sepertinya temperamen teman kita itu cocok untuk punya PH di industri film seperti Indonesia. Dia bisa bekerja dengan orang-orang yang terlalu bikin frustasi untuk gue temui sering-sering.
Orang kaya gue mungkin harusnya jadi filsuf, bukan filmmaker.
Eh tapi kan kita generation who gets philosophy in a movie. Udah bener dong jadi filmmaker?
Nggak. Sekarang we get philosophy in Pinterest.
Dan banyak alasan lain untuk gak bikin film.
Tapi gue tetap menulis. Mungkin karena frustasi. Mungkin karena gak tahu mau ngapain lagi. Mungkin karena belum tenang mati kalau ini belum jadi. Mungkin karena menulis menenangkan hati sendiri.
Dan alasan-alasan lain yang gak cukup menenangkan Mami.
Yang membuat gue tetap tenang, karena di lubuk hati ini berdendang sebuah lagu yang gue tulis di hari gue memutuskan resign dari arsitektur. Sebuah janji dari yang memegang tangan gue sejak hari itu.
No glory, but somehow it's enough.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar