Kata Alain De Botton, rumah seharusnya mencerminkan apa yang penting bagi si yang punya.
Jadi buat gue, rumah itu yang penting apa?
Yang penting fungsional, nyaman buat gue pake tidur, mengulat, leha-leha, dan aktivitas lain yang pengen gue kerjain sendiri, gak bareng teman-teman. Kamar mandinya bersih dan membahagiakan. Kalau kadang-kadang pengen masak, bisa. Kalau mau bekerja di rumah juga bisa. Kalau sesekali ada teman bertandang, bisa ditampung. Jangan kebesaran biar gak usah pake pembantu. Bisa dibersihin sendiri, hitung-hitung meditasi.
Airnya bersih. Listriknya gak mati-mati. Udaranya gak polusi, makanya mungkin harus tetap banyak hehijauan, gak didominasi beton beton dan beton.
Kalau dari tampak, yang penting pake bahan-bahan lokal yang bikinnya gak merugikan orang lain dan spesies lain. Gak perlulah pake bata korea atau keramik Italia atau segala macam yang bukan kita. Yang penting kualitas tinggi, tahan seumur hidup setidaknya, biar gak usah gonta ganti dan menambah sampah dunia.
Gak usah pake pagar tinggi maupun pendek. Jelek, kaya penjara. Gak masalah lihat-lihatan sama tetangga kadang-kadang. Kalau malas ketemu orang ya tinggal tutup tirai.
Makanya tetangganya jangan yang rese-rese. Kalau bisa semuanya teman-teman semua, jadi kalau mau maen ke rumah teman gak usah naek mobil. Yang sama-sama suka film. Sama-sama menganggap seni, budaya, sejarah, dan science penting. Jadi bisa make ruang publik sama-sama karena hobinya sama.
Masa daerah rumah dibagi berdasarkan hobi?
Ya daripada sekarang, dibagi berdasarkan penghasilan? Makanya mungkin kita jadi malas ketemu tetangga. Lebih menyenangkan kan kalau pembagian kompleknya berdasarkan hobi.
Dekat ke pasar. Dekat ke kerjaan. Dekat ke sekolah. Dekat ke tempat olah raga. Kalau anak si Chica datang, ada tempat maen-maen di luar, jangan rumahku dirusaknya.
Yang ada Art center. Museum. Cultural Center. Science Center. Pokoknya tempat-tempat yang memang didedikasikan untuk maen-maen sambil berpikir gimana membuat kehidupan kita lebih baik lagi. Bolehlah center-center ini agak jauh, di tengah kota, biar seluruh kota bisa make. Kalau bikin banyak di tiap komplek pasti terlalu mahal dan kurang seru. Lebih baik satu aja. Pengen juga sekali-sekali ketemu mahkluk dari distrik lain yang hobinya gak sama ama kita.
Tapi ke sananya gak boleh rempong. Harus ada transportasi massal, biar gak perlu pake mobil masing-masing, trus bikin macet. Sebenarnya memang lebih menyenangkan hidup tanpa mobil kalau transportasi umumnya bener. Malas kali ngabisin hidup cuci mobil, ganti oli, isi minyak, service.
Mata pencaharian utama warganya difokuskan memenuhi kebutuhan warga kota, bukan membantu perusahaan multinasional yang keuntungannya buat kemajuan negara lain. Industrinya jadi cukup memproduksi makanan sendiri, pakaian sendiri, alat-alat sendiri. Sisanya bekerja di bidang jasa yang berfokus mencari solusi agar kehidupan kita lebih baik. Karenanya paling utama pendidikan.
Dengan menanyakan ke diri sendiri sebuah pertanyaan sederhana rumah itu yang penting apa, sebenarnya gue sedang mendesain sebuah kota ideal tanpa perlu mengerti teori-teori Urban Design.
Kata Romo Mangun, karakter bangsa bisa dilihat dari arsitekturnya.
Gue memandang keluar, ke kota ini. Rumah-rumah kecil beratap tanah liat berbagai warna berjejal-jejal sejauh mata memandang, sampai terhalang kompleks apartemen baru yang berkumpul menjulang. Semuanya berpagar, mungkin takut kecurian, takut dikepoin tetangga. Di kejauhan terlihat kumpulan gedung-gedung di gedung Sudirman, tampak seperti versi KW Detroit atau New York.
Kata Romo Mangun, karakter bangsa bisa dilihat dari arsitekturnya.
Apa yang bisa kita lihat dari kota ini?
Fear. Broken Society. Insecurity.
We do not have to live like this.