Sabtu, 24 Juli 2010

The Art of 'I Don't Give A Damn'

"Apa tujuan mbak menerbitkan buku ini?"

Pertanyaan klasik launching.

Jawaban si mbak penulis bergema akibat audio Cina. Kayanya gak jauh-jauh dari 'ingin berbagi pengalaman', 'menghantarkan sebuah pesan', bla bla bla.

Nyerah menafsirkan gema.

Kami bikin diskusi sendiri. Dimulai dari si Lumba-lumba berjilbab biru: bagaimana caranya menulis, menambah another 'pengen jadi penulis' in the list of everyone I know.

"Yang penting jujur," jawabku seakan-akan gue tahu gimana caranya mentang-mentang menang satu piala.

Ternyata dia tidak ingin menulis. Dia ingin diterbitkan. Jujur saja masih kurang.

Published or not published. It is the question.

Lo belum penulis kalau belum diterbitkan.

"Terbitin on demand aja. Sapardi aja on demand," kata another teman.

Haruskah tulisan diterbitkan?

Writing is an art of 'I don't give a damn'. It was supposed to be fun. Do you even have time give a damn about this 9W 1H?

"Gue suka banget blog lo. Story telling lo fresh banget," kata another teman.

Now I started to give a damn.

I might be a much better writer than I really am.

Gue mulai merekayasa...

Berusaha menulis cantik...

mereka bakal suka gak ya?

and there goes my damned 'I don't give a damn'.

This is another hopeless suffering of me trying too hard: the worst enemy of writing.

Damn.

So much that i appreciate all your attention, my friend, I just don't give a damn.

Gue ngin menulis cerita seindah seniman-seniman pujaan gua. About all the important stuffs of the world: cinta, harapan, dan hamster tetangga.

It all starts with 'I don't give a damn'.

Menang piala, masuk KLA, diterbitkan... I don't give a damn.

Published or not published, I don't give a damn.

I am a storyteller.


Ayo, lumba-lumba. I am waiting for your 'I don't give a damn'!

Dan tiba-tiba semua penerbit ngantri nerbitin kita.

Salah satu pembaca akan bertanya:

"Apa tujuan mbak menerbitkan buku ini?"

Pertanyaan klasik launching.

Jawaban kita bergema lantang:


"Agar bisa bilang 'I don't give a damn' dengan bangga."

4 komentar:

  1. hihihi.. si lumba-lumba mungkin akan bersanding dengan lumba-lumba berjilbab lainnya untuk menerbitkan buku.. hehehe.. do you still say ''I don't give a damn"?

    *nyambung ngga sih ni komentar? 'i don't give a damn...hahaha

    BalasHapus
  2. hihihi.. si lumba-lumba mungkin akan bersanding dengan lumba-lumba berjilbab lainnya untuk menerbitkan buku.. hehehe.. do you still say ''I don't give a damn"?

    *nyambung ngga sih ni komentar? 'i don't give a damn...hahaha

    BalasHapus
  3. Hahaha, same problem here.. lagi berusaha nulis something jujur, tp end-up sophisticated, in case ada org ngga ada kerjaan yg ngga sengaja baca :D

    Btw, kemarin baru nonton sorcerer's aprentice.. I think the lyric's kinda picture the situation:

    Tell me what you want to hear
    Something that were like those years
    I'm sick of all the insincere
    So I'm gonna give all my secrets away

    This time
    Don't need another perfect line
    Don't care if critics ever jump in line
    I'm gonna give all my secrets away

    BalasHapus
  4. ca, kok tulisan lo bagus sih?
    oh wait, that's not yours. pantesan=D

    lumba-lumba berjilbab di mana pun kalian berada, kutunggu karyamu=D

    BalasHapus