Selasa, 13 Juli 2010

Menanti Rotan

"I hadd been in thiz buzineezz forrr forrttty ttwo yearrrzz, bud I zee no zolllution."

Ruangan Sumba di hotel bintang lima itu digelegari logat India. Setelah salah satu pejabat pemerintah selesai presentasi indah, kepahitan si produser tak tertahan lagi.

Si pejabat bilang industri kreatif di Indonesia menyumbang 6.3 % GDP kita. Kok lo bisa tahu? Data penonton film aja gak pernah bisa dikasih ama pemerintah kita, padahal data ini bisa dipakai film professionals memperkirakan jumlah penontonnya.

"I'd better speak up, cause only crying babies get milk."

Now it's getting interesting.

Watching this baby crying is a lot more fun daripada nonton film bikinan doi. Berkat provokasi doi, diskusi menjadi lebih tidak orde baru. Dari pagi sampai sore, gue dibekali berbagai info first hand betapa busuknya industri film kita.

Bioskop kecil menegeluh harus tutup karena supply film kurang.

Produser film mengeluh jumlah screen kurang.

Dan dengan gagah perkasa, pemerintah menargetkan 200 film di 2012... tanpa usaha menambah jumlah layar atau merangsang lebih banyak lagi produksi film.

Zero!

Salah satu usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas film adalah bikin seminar kaya gini. Susah payah pemerintah mengundang banyak manusia WIPO dengan rate dollar di sebuah hotel berbintang lima di jakarta untuk mencerdaskan kami _ bukan untuk sekadar bikin program asal ngabisin anggaran tahunan lhooo _ tanpa peduli abis makan siang, peserta sudah berkurang setengahnya.

Dan gue jadi bertanya-tanya kenapa?

Apa tak lebih baik duit ini dihabiskan untuk memberi gue 25 juta, seperti yang dijanjikan padaku setelah menang citra. Gue & teman2 yang dimotori djenar udah melayangkan surat mempertanyakan hadiah ini. Filmmaker nestapa kaya gue ini butuh banget Rp 25 juta. Untuk sekadar bertahan hidup atau memperistri i mac ke dua.

Tapi janji tingal janji, 25 juta hanya mimpi.

Zero!

Untung hari ini diakhiri presentasi wahyu aditya. Idenya nggak baru. Patungan bikin film. Udah biasa banget di amerika.

Sounds like my 10.001 executive producers.

Damn. Apa ada yang ngeduluin gue di Indonesia?

Ternyata nggak. Wahyu Aditya cuma mencontohkan beberapa cara yang dilakukan filmmaker indie amerika, ngumpulin duit lewat internet.

Gue gak perlu panik, harusnya bersyukur masih ada beberapa pemuda yang belum terjamah pahitnya kehidupan.

The world have enough penonton untuk dibagi. Kalau yang bikin film gue doang, nanti blitz malah bertutupan karena supply film kurang.

Dan pembuat film mengeluh jumlah screen kurang.

Dan target pemerintah 200 film di 2012 tinggal impian.

Lingkaran syaiton!

Apakah 42 tahun dari sekarang gue akan marah2 mengutuk pemerintah setelah pahit malang melintang di dunia perfilman yang katanya kelam ini?

Jangan ah.

Semoga 42 tahun lagi gue sudah bikin beberapa film terbaik versi gua, hidup kaya raya, dan sebelum mati masuk surga gue bisa berkata lega kepada generasi muda:

Tiada rotan, akar pun jabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar