Saya dilahirkan di zaman Soeharto di saat pendidikan Cara Belajar Siswa Aktif membuat kegiatan berkesenian saya hanya sebatas menggambar dua gunung, satu jalan melintas sawah, dan matahari di balik celah kedua gunung.
Kadang di kanan atas.
Saya mulai mengenal jenis gambar lain ketika komik Jepang mulai membanjiri Gramedia. Gambar saya pun mulai menyerupai karakter-karakter di Candy-Candy.
Baru ketika tahun 2000 saya pertukaran pelajar ke Amerika, saya mulai mengenal jenis kesenian lain. Saya mulai mencoba berbagai jenis media seperti lukisan cat air, lukisan cat minyak, gambar realis, fotografi, kerajinan besi, keramik, paduan suara, band, dan lain-lain. Gambar saya tidak lagi seperti Candy-Candy.
Sepulang dari Amerika, saya kuliah di Arsitektur ITB walaupun tidak terlalu mengerti serunya membentuk ruang. Tapi Arsitektur satu-satunya jurusan yang mungkin saya pahami di institut yang diinginkan mama saya. Saat itu saya tak peduli kuliah apa, yang penting ITB.
Di ITB, saya mulai menonton dan membuat film pendek. Saya sangat senang membuat film karena berbeda dengan bidang seni lain yang cenderung sepi, film media yang populer dan mudah dijangkau masyarakat luas. Setelah lulus, saya ingin menjadi filmmaker.
Setelah lulus, tentunya saya tidak berani dan akhirnya menjadi asitek. Baru setelah saya gagal mendapat visa kerja dan tidak punya pilihan lain selain bikin film, saya mulai membuat film pertama saya.
Film pertama saya judulnya cin(T)a, dibuat oleh orang-oang yang semuanya baru pertama kali membuat film. Filmnya sangat sederhana dan temanya berhasil mencuri perhatian muda-mudi yang naksir orang yang beda agama tapi gak bisa. Film ini memberikan saya Piala Citra untuk skenario dan menjadi tiket masuk saya mengenal filmmaker Indonesia yang komunitasnya cenderung kecil dan tertutup.
Film kedua saya diproduseri salah satu sutradara favorit saya, Nia Dinata. Sebuah dokumentar pendek tentang seorang anak SMP yang juara kontes menyanyi instant di TV yang akhirnya menjadi tulang puggung keluarga. Perjalanan membuat film ini membuat saya berpikir ulang tentang popularitas dan dampaknya kepada passion kita.
Karenanya film ke tiga saya tetap saya produseri sendiri, tanpa artis terkenal, dan didanai ribuan orang lewat program crowdfunding. Judulnya Demi Ucok, tentang seorang anak yang tidak ingin menjadi ibunya yang kawin dan melupakan mimpinya menjadi artis terkenal. Film ini sangat penting bagi saya karena dibintangi ibu saya sendiri dan perjalanan crowdfunding mengharuskan saya menemui satu per satu orang dan sering kali menemui penolakan. Film ini adalah sebuah begging pilgrimage yang berakhir manis. Film ini menjadi Film Indonesia Terbaik pilihan Majalah tempo dan Ibu saya mendapatkan Piala Citra dan menjadi artis sesuai cita-citanya.
Film ke empat adalah ‘Selamat Pagi, Malam’, film pertama yang tidak saya sutradarai sendiri. DI film ini saya belajar lebih dalam tentang identitas, seksualitas, dan melihat keindahan dari keburukan Jakarta.
Industri film Indonesia yang semakin hari semakin krisis penonton menyebabkan saya sempat berpikir untuk tidak lagi menjadi filmmaker. Di jaman New Media ini, sepertinya kita harus lebih fleksibel dan kolaboratif dalam menciptakan karya. Tidak boleh terlalu terpaku pada format film komersial berdurasi 90-360 menit. Sebelum berhenti, saya akan membuat setidaknya satu film lagi, Raja Kata. Sebuah cerita sederhana tentang memaafkan yang terinspirasi dari ayah saya.
Statement Karya
Film adalah bidang seni yang menuntut kompromI paling tinggi karena sangat kolaboratif dan membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya, saya harus sangat berhati-hati dalam membuat film agar tidak terseret arus keinginan populer.
Sejauh ini, saya hanya membuat film yang meresahkan saya. cin(T)a merupakan keresahan saya tentang agama atau cinta. Lima Menit Lagi tentang popularitas atau passion. Demi Ucok tentang nurut ke orang tua atau mengejar mimpi. Selamat Pagi, Malam tentang mencoba melihat keindahan dalam keburukan. Karenanya, saya membuat film untuk menjawab keresahan diri sendiri. Sambil berharap semoga keresahan ini juga dirasakan cukup banyak orang sehingga filmnya balik modal dan bisa bikin film selanjutnya.
Selama saya masih banyak keresahan dan uneg-uneg, mungkin saya masih akan terus membuat film.