Sabtu, 01 November 2014

Belajar Terbang

Di depan pintu bar itu dipajang tulisan Ladies Only. Tapi Lucky dan dua teman lelakinya rela masuk demi menemani kami, dua anak burung dari negeri yang tak punya lesbian bar.

Gue melintasi dance floor sempit dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap. Gue cuma berdiri ngintip-ngintip dari ujung ruangan mengamati lesbian Tokyo, sementara si anak burung lain sudah disamperin mbak-mbak berbahasa Inggris di bar.

Lucky dan dua temannya menjauh, seperti induk burung yang menendang anaknya keluar sangkar biar bisa terbang. Tapi sepertinya anak burung ini lebih memilih kembali ke sangkar.

Ini pertama kalinya gue ke Lesbian Bar.  Ternyata banyak juga yang cantik di antara buci-buci. 

Sayup-sayup di belakang sana, gue mendengar Lucky menceritakan kisah gue pada dua temannya. 

“Emang ini semuanya lesbian?” tanya gue pada Anak Burung 2.

“Ya iyalah, Mbak.  Namanya aja Gold Finger. Kalau gak suka cewek sih ya gak akan ke sini,” katanya 

“Lha elo nggak lesbi  ke sini,” tuduh gue.

“Ya gue kan bi,” katanya. 

Ini pertama kalinya gue denger confirmed dari mulut dia. Biasanya Anak Burung 2 berusaha terkesan dia eksperimen doang.

Anak burung 2 lanjut berburu. Anak burung 1 tetap diam mengamati  femme-femme yang datang dengan kostum polisi blasteran suster.

Hari ini malam Halloween.  

Papa burung memutuskan pindah ke restoran Thailand di sebelah biar Anak Burung 1 gak punya sangkar untuk kembali. Tapi Anak Burung 1 malah ngekor.

“Lo party pupper banget sih,” keluh Papa Burung.

“Ih baru tau? Emang kapan gue gak party pupper?” tangkis si anak burung yang  lebih pengen makan pad thai daripada kenalan sama femme-femme cantik. 

Bar memang bukan kandangnya.  Cukup baginya untuk melihat-lihat seperti apa sih lesbian bar. Setelah itu, kembali pulang dan menulis.

Anak Burung 2 yang dicurigai sudah sibuk ciuman di Bar me-whatsapp, ngajak Papa Burung pindah ke club buat dancing-dancing. Papa Burung yang sudah mulai ngantuk pun terpaksa ikut clubbing, menemani Anak Burung 2.

Gue berjalan melewati ribuan manusia dengan kostum Halloween yang merajai  jalan Nicome yang sebelum tengah malam mungkin dipenuhi mobil, Semuanya tertawa senang berusaha memanfaatkan momen Halloween untuk merayu dan dirayu and make the most of their youth. Gue menatap sekeliling, sambil bertanya-tanya what is wrong with me. Apa benar gue gak mau stay dan menikmati semua ini? Apa gue akan jadi party pupper seumur hidup kalau malah naik taksi dan pulang ke hotel?

Bukankah gue seharusnya pengennya di luar sini merayu dan dirayu and make the most of my youth?

Mungkin  deep down inside, I already found you. 

“Hotel Okura, please.”











Tidak ada komentar:

Posting Komentar