“And the best film goes to… Heaven Knows What,” kata James Gunn bersemangat dari atas panggung Tokyo IFF yang kaku dan gak matching dengan aura James Gunn yang sangat hidup.
Mas-mas Amerika sayang pacar yang pembicaraannya gue kupingin beberapa breakfast yang lalu ternyata sutradaranya. Selain Best Film, dia juga menang Best Director.
“Bukan pacarnya bok! Istri. Itu udah pake cincin,” sambut Lucky saat gue ceritakan betapa manisnya si Best Director menelepon pacarnya.
“Abis pas nelepon, matanya berbinar-binar banget,” jawab gue yang belum nonton Gone Girl tapi sudah setuju dengan betapa membosankannya perkawinan.
“Ihhh emang kalau ama istri gak bisa berbinar-binar ya?” kata Lucky yang juga sebenanrnya malas kawin tapi gak rela kalau gue benar.
Gue gak menjawab karena terlanjur digiring Attendant tak berbahasa Inggris yang semalaman menjaga kami agar tak kabur. Dia menunjuk-nunjuk luar sambil ngomong something yang sepertinya Bahasa Inggris agar gue melanjutkan langkah ke lantai 49 Roppongi Hills. Semua filmmkaer, distributor, dan programmer sudah dikumpulkan di sana. Waktunya berburu.
Lucky mengarahkan gue menuju ke seorang sutradara Singapur dan distributornya yang kalik aja mau mendistribusikan film kita juga. Mumpung kita jadi closing film di Singapur, kalik aja mereka tertarik.
Belum ditawarin, mukanya udah pada judes. jadi gue batal menawarkan.
Lucky menyuruh gue untuk mingle-mingle. Gue bingung dan akhirnya malah mendekati Sharifa Amani dan tertawa-tawa membayangkan pemutaran ‘Muallaf’ back to back dengan ‘Sayang Can’t Dance’, dua film yang dibintanginya. Yang satu menang di Tokyo, yang satu malu dia bahas.
Semakinlah gue bahas.
Lucky balik dengan 2 kartu nama dari Japan Foundation.
“Nih gue aja udah dapet kartu nama. Kok lo ngobrolnya ama Sharifa Amani muluk?”
“Eh kalau yang kartu nama ini sih gue udah dapat kalik. Dah pernah ngobrol,” kata gue membela diri. Lagipula ternyata dekat-dekat Sharifa Amani malah sangat strategis, karena semua lini perfilman kenal dia. Gak usah mingle-mingle, orang yang akan datangin dia dan gue tinggal ikutan nebeng dikenalin.
“Kayanya next time emang mending artisnya dibawa deh. Enak banget kalau artisnya festival darling kaya dia,” kata gue.
“Well… harusnya kitanya sih yang jadi festival darling,” kata Lucky.
Tapi darlingnya malam ini si mas-mas breakfast. Filmmaker tanpa award terpaksa mengais-ngais kartu nama. Capek, mending ke tempat ruang merokok padahal gue gak ngerokok. Dan tentunya ketemu Malaysia-Malaysia lagi. Tertawa-tertawa, memang paling enaklah ngobrol sesama manusia pulau.
“Where is your executive producer?” tanya gue pada si produser Malaysia.
“Lagi meeting,” jawabnya.
“Tuh produser tuh kaya gitu. Meeting meeting,” kata Lucky.
Gue mau protes bilang kan doi pejabat Astro. Dan dia udah memproduseri banyak film. Dan produser-produser first time ya nasibnya masih nongkrong di Smoking Room. Tapi ya sudahlah. Mungkin gue memang bukan produser.
Langsung curhat-curhatan ama produser Malaysia, sesama produser first time.
“You have a screener? I can give it to my executive producer nanti kalau dia dah selesai meeting,” katanya.
Gue memberikan screener dengan bahagia. Sejujurnya, ini screener pertama yang gue beri dan gue rasa akan ada kelanjutannya. Dan semuanya dimulai dengan tertawa-tawa tanpa tukaran kartu nama.
“We should make something together,” katanya sambil membayangkan artis-artisnya disatukan dengan Adinia Wirasti dan si Lesung Pipit Filipina.
Gue setuju dan berjanji akan datang ke premiere dia tanggal 9 Desember nanti di Damansara.
Semoga film kita bisa beredar di Malaysia. Kalaupun tidak, setidaknya 9 Desember nanti akan kita akan menonton hasil karya sahabat-sahabat kita.
Fuck kartu nama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar