“I guess as we get older, we are not as funny,” jawab Lucky ketika ditanya kok bisa film ke duanya sangat berbeda dengan Madame X yang kocak dan penuh letupan. ‘In The Absence Of The Sun’ mellow to the low.
Si penerjemah Jepang ikutan mellow to the low mendengar jawaban Lucky.
“You are not old. How old are you?” tanyanya.
“34.”
“You still got a long way to go. People in Japan lives to a hundred.”
“Well, In Indonesia it is only 65.”
“Life expectancy that low?” tanyanya kaget. Padahal dulu dia pernah tinggal di Indonesia. Mungkin tinggalnya di Indonesia bagan expat, di mana udaranya bersih dan makanannya sehat.
Kalau dikonversikan ke mata umur Jepang, Lucky sudah 50. Gue sedikit mudaan. Tapi akibat tak yoga dan gemar gula, mungkin jadinya lebih tua.
Gue tidak bertanya berapa umur Yumi. Tapi kalau orang tuanya sudah berumur 80, Yumi mungkin sekitar 50. Walau mukanya 30an.
“I am 48,” kata seorang mantan bintang porno. Mukanya juga 30an.
Mungkin karena dia mantan aktor bintang porno Jepang yang sudah ngecrot di depan kamera di lebih dari seratus film.
Nggak juga.
Mungkin karena kulit mereka memang lebih tak berminyak dan cerah. Mungkin makanannya. Mungkin udaranya. Di Tokyo, gue bebas jerawat tanpa obat padahal tiap hari pulang ketiduran lupa cuci muka.
Teringat papi yang sudah 67 dan selalu merasa waktunya bentar lagi. Papinya Papi meninggal umur 69, karenanya Papi yakin usianya tidak lama lagi. Apalagi mengingat sudah 3 kali papi pingsan padahal sudah keluar masuk rumah sakit. Dan selalu dokter bilang dia sehat, tak boleh banyak pikiran, tapi nanti pingsan lagi.
Gue selalu tidak percaya setiap Papi bilang mungkin waktunya hanya dua tahun lagi. Papi terlihat sehat-sehat saja. Kematian seperti hal yang mustahil terjadi di hidup gue.
Sampai suatu sore di stasiun Sedagaya.
Sebuah whatsapp roaming dari Bang Gigit mengabarkan si Bobot, anjing menyebalkan yang selalu membuat gue merasa dibutuhkan dengan goyang-goyang ekor tiap gue pulang, ditemukan meninggal di kebun belakang.
Sebelum gue berangkat ke Tokyo, memang Bobot mengurus. Sudah gak mau makan. Nafasnya terengah-engah. Mak Gondut sudah mewanti-wanti agar parit kebun belakang ditutup. Anjing kalau mau mati biasanya kabur dari rumah. Bobot jangan dikasih keluar-keluar. Nanti sore mau dibawa ke dokter.
Dan siang itu Bobot diam-diam pergi ke kebun belakang dan gek pernah kembali. Ditemukan sudah kaku.
Gue terdiam di peron, air mata mengalir tanpa suara, cuma menatap kosong, gak ikut rombongan yang terburu-buru keluar stasiun.
“Yuk makan dessert yuk,” kata Lucky sambil menggiring ke toko kue serba green tea.
Sejenak lupa Bobot.
Gue melanjutkan hidup berharap Bobot sudah bahagia di sana. Tapi tiba-tiba air mata netes sedikit saat wawancara radio, dan sedikit saat nonton film di sebelah bapak-bapak berkaki bau. Teringat nanti gue pulang gak ada lagi yang goyang-goyang ekor menyambut.
Melewati stasiun Shibuya, Lucky sudah wanti-wanti jangan sampai gue dekat-dekat patung Hachiko. Tapi gue melipir dan berdoa sebentar.
Bobot tidak dibuatkan patung seperti Hachiko, padahal Bobot lebih cantik. Bobot dikuburkan di depan jendela kamar Mak Gondut, hanya beda semeter dari tempat dia biasa bobo menemani Mak Gondut. Nanti kalau gue pulang, hanya ada bunga-bunga palsu pindahan dari ruang tamu yang sekarang menandai di mana Bobot bersemanyam.
Gue memandangi foto jenazah Bobot di FB Mak Gondut. Diselimuti kain putih, Bobot terlihat seperti bobo.
“Mukanya sih damai,” whatsapp-nya berusaha menghibur gue.
“Eh nggak ding. Mukanya nyolot.”
Gue melihat lagi foto Bobot.
Iya mukanya masih nyolot. Kupingnya berdiri galak. Siaga bacok kalau ekornya disenggol.
Gue tertawa. Iya ya gue gak perlu khawatir dengan Bobot. Preman aja serem ama doi, apalagi hantu dan malaikat maut. Bobot akan baik-baik saja di mana pun dia berada. Dia akan bacok siapa saja yang nyenggol ekornya di surga sana.
“Bobot mana masuk surga! Hanya manusia yang dipenuhi kasih Kristus yang masuk surga,” sambar Mak Gondut di satatus FB-nya.
Gue tidak membalas. Tidak membahas.
Di mana pun Bobot berada, semoga dia tahu dia disayang.
“Death really changes the way you see life,” kata Lucky mengenang sewaktu bapaknya meninggal. Dia jadi lebih tidak peduli the nonsense of life.
Yang penting jambul harus hits. Potong rambut di mana ya?
Menyadari ternyata hidup bisa berakhir, semua keriaan Tokyo menjadi seperti tidak penting.
Gue melihat foto Papi dan Mami.
Semoga Papi Mami tahu mereka disayang.
“Yuk biin pilim.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar