"Bukan Hamoraon?" tanyaku.
"Sama itu sebenernya," jawabnya sambil memperlihatkan tulisan asli Nahum Situmorang, penulis lagu Anakonki Do Hamoraon, eh Hasangapon di Ahu.
Penulis lagu Anakonki ternyata gak punya anak, jadi hasangapon copyrights lagu ciptaannya jatuh untuk anak orang lain. Anak saudaranya.
Sementara lagunya mengilhami banyak wanita berpikiran sempit menilai wanita lain dari kemampuannya beranak. Beranak laki-laki. Anak perempuan gak dianggap anak.
Dan mengilhami banyak pria Batak untuk kawin lagi.
Demi hasangapon. Demi anak laki-laki.
It's 2012, and stories like this still happens.
"Udah nggak banyak sih yang kaya gini. Angkatan kakek n bokap kita masih. Tapi product-product broken home-nya ya generasi sekarang."
Bitter daughters.
Perempuan-perempuan yang melihat bapaknya kawin lagi karena ibunya cuma bisa beranak dia, the failed product.
"Jangan dilihat dari sisi negatifnya. Sisi positifnya adalah: orang tua Batak selalu berusaha yang terbaik untuk anaknya, di atas kepentingan dirinya sendiri."
Kalau simbol keberhasilannya adalah anak, bukankah segala yang untuk anak sebenarnya untuk dirinya sendiri?
Should we see the worst in our father?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar