"Kok judulnya 'Demi Ucok' sih mbak? Kan ini film Bandung," sms salah satu pendengar salah satu radio ternama di Bandung.
"Kita kan bukan Bandung, kita Indonesia, bla bla bla," jawab gue setelah terlatih berbulan-bulan roadshow cin(T)a.
Berbeda-beda tetapi satu jua, cyin.
But now it keeps me thinking about the title. Kenapa judulnya Demi Ucok ?
Judul 'Demi Ucok' ini udah ada sejak 2006, di saat Kak Ria ulang tahun dan gue gak tau mau ngasih kado apa_since she has everything_jadi gue gambarin aja sebuah poster film bersutradara gue_since all I could is daydreaming_ jadilah sebuah poster film khayalan berjudul Demi Ucok.
It seemed like a perfect title for a movie. Dan tetap gue pake walaupun ceritanya tak ada yang bernama Ucok.
Karena Bang Ucok senang. Karena Kak Ria senang.
"Ucok ini adalah menantu impian Mak Gondut, sebuah keadaaan utopia di mana semua berjalan sesuai kata orang tua, dan anak gak punya ambisi lain selain menyenangkan orang tua," jawab gue diplomatis, berusaha menyambungkan Ucok dengan lagu tema trailer yang berjudul Utopia.
"Jago deh mbak ngelesnya. Harusnya jadi penyiar."
Yeah. Harusnya gue jadi penyiar. Bukan sutradara. I speak better than the real me.
Sekarang di saat Bang Ucok males namanya dipakai di judul film, Kak Ria merasa ini bukan tentang dia, film ini gak ada Batak-Bataknya, dan gak mungkin dipromokan lewat gereja karena ada adegan nikah beda agama dan lesbian hamil_ gue jadi bertanya kenapa film ini tetap harus tayang.
Kenapa gue masih percaya kalau film ini bakal ada yang nonton?
Or even worse. Gak cuma nonton. Gue percaya ada 10 ribu orang yang akan rela memberi 100 ribu dan menempelkan namanya di poster Demi Ucok. Kalau cuma untuk datang ke bioskop dan menonton sih gue cukup pede dengan film ini. Tapi untuk membayar dan naroh nama?
Why in the world would anyone do that?
Demi apa ?
Demi elo?
Elo tuh perusak rumah tangga orang, penyebab temen lo dapet E karena ngasih contekan ama lo, tukang ngerokok di musholla sekolah, pemalas yang gak pernah naik angkot, why would anyone spare their 100.000 for you?
Demi apa?
Demi film Indonesia?
Aiyhhhhhhh. Indonesia masih butuh makan, kok malah bikin film..
"Kita butuh harapan, gak butuh makan," says Niki, the pregnant lesbian character wisely. Sambil makan ayam.
Demi eksis?
Please deh. We have all the facebook and the twitter. Why would we need more programs consuming our time from reality?
Saat ini gue nggak tahu kenapa orang harus dukung film ini. bahkan gue gak tahu kenapa gue masih harus mempromosikan film ini. Apa lagi yang gue tawarkan selain hati? Dan hati, gue gak punya lagi.
Tapi gue masih dikasih kaki dan mata, jadi belum saatnya berhenti.
Demi kian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar