Rabu, 15 September 2010

Mari

Namanya Mari. Mariyuana.

Semua tertawa mendengar namanya. Semua gemas melihatnya. Kecil, berbulu, berpita, dan bermata kelereng. Warna bulunya machiato, campuran coklat dan putih penuh lemak. Muat dimasukin ke tas, biar kaya Paris Hilton.

MAri adalah hadiah ulang tahun manis untuk sang Mama.

Tapi itu dulu.

Sang mama gak doyang anjing. Si adek sekolah ke Jerman. Si kakak ke Malaysia.

Dikurung. Berak di tempat. Disiram. Basah. Gak pernah dikeringkan. Gak pernah dimandikan.

Mariyuana tak lagi machiato. Putihnya berganti abu-abu lengket-lengket. Coklatnya berubah hitam kegot-gotan. Koreng sana sini. Hyper active. Gak lucu. Gak guna. Gak bisa nangkep tikus.

Tapi matanya masih kelereng, memandang Mak Gondut penuh harap. Mak Gondut geer, berasa Mari minta dibawa pulang.

Mariyuana dibawa pulang. Ke rumah di mana anjing bisa berkeliaran bebas, gak
dikurung sendirian.

Ternyata Bonyet dan Boni gak terima. Mari kecil langsung diterkam. Segala teori ‘biarin cium pantat dulu’ ternyata tidak berlaku bagi Bonyet, si anjing kampung cemburu buta.

Mari terpaksa ditaruh di belakang, sementara Bonyet dan Boni berkeliaran bebas di rumah. Padahal yang anjing mahal Mari , Bonyet cuma 40 ribu.

Setelah dibawa ke dokter ama Papi, dimandiin dan diguntingin Cica, Mari kecil agak wangi sedikit, walaupun masih korengan. Belum cukup lucu untuk dikasih ke orang.

Ngidupin pompa air untuk mandi selalu jadi dilema di pagi hari, karena harus melewati kandang Mari. Mari selalu melonjak-lonjak minta diajak main. Gak tega liat matanya sedih tiap kali gue gak bisa lama-lama nemenin.

Kenapa sih si Bonyet? Toh kalau gue sayang Mari, dia gak akan kurang disayangi.

Mungkin ini rasanya jadi Tuhan ngelihat kita gak senag liat orang senang.

There is enough love for everyone.

Enough love.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar