Rabu, 29 April 2009

SUTRADARA CEMEN

“Kalau nggak bisa mimpin, ya nggak usah jadi sutradara,” tutur Garin Nugroho dengan senyum manisnya. Tapi menusuk!

Gue berdarah-darah, terlalu proud untuk mengundurkan diri jadi sutradara. Ternyata panitia tidak hanya memilih gue doang buat bikin film. Yang dipilih ada lima orang. Lima-limanya pengen jadi sutradara. Dan nggak ada yang mau jadi produser. Entah kenapa yang akhirnya ditunjuk jadi sutradara... gue. (Pastinya karena gue paling cantik.) Padahal cerita yang terpilih bukan cerita gue.

Shooting dua hari, gue turun dua kilo. Good for my diet. Eight more kilos to go!

But not good for my soul. Gue merasa dibenci semua orang. Dan semua ini... gara-gara gue berusaha menyenangkan semua orang.

“I don’t know how to be successful, but I know how to fail. Just try to please everyone!” kata Cosby... more or less kaya gitu deh. Andai gue tahu dari dulu-dulu.

Gue jadi inget film pertama gue di mana semuanya gue kontrol sampai ke satu titik di mana gue merasa yang enjoy ngerjain cuma gue. Yang lain gak berkembang karena kreatifitas mereka gue batasi dengan berbagai macam maunya gue. Untungnya filmnya berakhir keren dan semua kru bahagia melihat hasil akhirnya. Mereka jadi lupa betapa menyebalkannya gue karena bahagia liat filmnya.

Sekarang... film gue jadi gado-gado gara-gara sutradaranya berusaha menyenangkan semua orang. Sampai pada satu titik si sutradara capek nyenengin semua orang, dan mulailah terlihat bentuk aslinya yang suka marah2. Kata Riri Riza, sutradara yang suka marah2 di lokasi shooting tuh cuma sutradara yang kurang persiapan. That’s me!

Gado-gado! Walaupun katanya film ini berhasil masuk tiga besar pada penilaian juri, buat gue film ini tetap pembelajaran yang menyakitkan. And I am so sorry that a lot of people have to suffer because of my lack of leadership and overdosed confidence.

Maybe I am not shaped to be a director after all.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar