Rabu, 29 April 2009

GAGAL JADI SUTRADARA

Gagal jadi sutradara, gue balik ke Singapur. Gue pikir kalo emang gue bagus, ONM pasti mau nerima gue lagi. It turns out that I am not that good. They have plenty of other me lining up begging to work for them.

Terpaksa gue nyari kerja lagi. The idea of going through another endless interviews were really killing me. Mending gue nyari jodoh aja deh. Gini-gini kan gue ketua umum Babacan selama 4 periode ke depan. Babacan is Batak-Batak Cantik, by the way.

Pergilah gue ke HKBP Singapura, berharap ada spesies Batak ganteng yang mau memperistri dan menafkahi gue seumur hidup sementara gue hahahihi bikin film. Amin.

All the good ones are taken, gay, or simanjuntak. Gue memble tapi kece...wa. Apa gue balik aja ya jadi arsitek? Pada saat itu ekonomi Singapura lagi bagus-bagusnya. Pembangunan di mana-mana. Arsitek tinggal lumpat lumpit gak perlu takut jobless.

I hope you never fear those mountain in the distance
Never settle for a path of least resistance

Tiba-tiba Ronan Keating kembali berdendang. Do I settle for a path of least resistance? Basi banget sih gue. Yuk coba lagi ah. Kembalilah gue ke HKBP berburu suami.

Ternyata yang tersisa di sana hanya para suami. Tak ada spesies Batak ganteng tak beristri. Kecewa lagi, gue terduduk. Apa gue ke cewe aja ya? Mak gue nyuruhnya cari jodoh Batak. Gak bilang harus cowo apa cewe.

Tiba-tiba salah seorang teman bertanya, “Hey! How is our movie? I would love to be the producer.”

Namanya Roland Samosir. Sebenernya ini bukan pertama kalinya doi nawarin bikin film bareng. Suatu hari di masa dulu, di hari-hari di masa gue masih berpikir kalau gue akan bekerja di ONM, make some contacts, and then later make a movie... kita duduk2 minum wine di tepi danau Toba. Dia nanya kenapa gue resign dari arsitektur. Gue nyeritain film yang pengen gue buat.

“I would love to be the producer!!!” serunya penuh semangat.

But I didn’t really take him seriously. Saat itu gue menganggap gue belon siap untuk bikin film sendiri. Gue masih pengen dirodi long hours di perusahaan advertising, atau jadi runner di PH film, atau apapun deh... asal jangan bikin film. It seemed like a no money and insecure choice.

But I have no other choice right now. So I just said OK.

Sekarang gue punya duit buat bikin film. Tinggal nyari alat ama kru. Jadilah film gue.

Or so I thought.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar