Sabtu, 19 September 2009

What’s next?

Setelah dua bulan jadi manusia nomaden, gue termenung sendirian di Medan yang tiba-tiba sepi entah karena lebaran atau karena hujan yang mencegah gue untuk makan Mie Pangsit Semarang, sementara manusia di pantai utara Jawa berdesak-desakan pengen pulang.

So what’s next? Apa film ke dua gue?

“Buruan bikin lagi! Ntar keburu orang lupa lho,” teringat teriakan Garin Nugroho dari ujung Teater Kecil di sela-sela kerumunan handai taulan mengerumuni. Sementara gue duduk di pojok sana, tak ada yang mengerumuni. Paling cuma semut2 berhubung gue manis.

Gue dah kebelet pengen bikin film lagi, berhubung cin(T)a sepertinya gagal mendatangkan jodoh. Berbekal kesalahan di cin(T)a dan kebebalan gue tetep bikin lagi walaupun yang pertama amburadul, gue mulai mikirin tema film berikutnya. Di cin(T)a gue salah strategi soalnya yang gue casting adalah cina-cina yang lebih muda dari gue.

Sekarang gue harus casting yang sesuai dengan target pasar gue... cowo berdada bidang berkulit gelap dan bukan Simanjuntak. Cerita yang sesuai dengan target pasar gue adalah:

1) Raja kata.

Tentang perjuangan sekumpulan masyarakat desa yang gemar berkata-kata. Dari sekian banyaknya kata yang mereka ucapkan, di kamusnya literally gak ada satu pun kata maaf. Ceritanya simple aja. Tentang perjuangan mereka untuk saling memaafkan. Karena ternyata memaafkan ini jauh lebih sulit daripada memerdekakan Indonesia. Masyarakat ini bernama Batak Toba by the way.

Sebenarnya tema ini paling menarik buat gue. Selain karena gue memang punya disability in forgiving others, ini juga kesempatan gue untuk lebih menghargai Opung-Opung yang kata Malcolm Gladwell turut membentuk gue yang sekarang.

Tapi temanya overweight banget buat mahkluk sekecil gue. Cukup sudah kemaren aku berhadapan dengan ekstrimis-ekstrimis agama, gue butuh break tarik nafas dulu sebelum gue harus berhadapan dengan Batak-Batak galak yang sebenarnya berhati lembut tapi tetap saja menyeramkan. Untuk seorang filmmaker nekat yang film pertamanya masih bermasalah dengan audio, Raja Kata ini bukan lagi menanti keajaiban... tapi sudah langkah memaksa keajaiban to the point it’s very ambitious and thoutghtless.

2) Famenism (when fame and feminism collide)

“Kecantikan Berbanding terbalik dengan kepintaran,” kata Cina.

Andai saja Cina benar. Andai saja cewe cantik memang bego-bego, tentunya masyarakat tanpa kelas Karl Marx akan lebih mudah terwujud. Tapi gue selalu dikutuk dengan teman-teman yang gak hanya cantik dan pintar, mereka juga kaya-kaya dan baik hati. Monyet!

Untunglah Saira Jihan masih gaptek dan foto paspornya ‘fashion-nista’ banget jadi setidaknya sampai Juni 2011, I still have reasons for not crying out loud “Tuhan gak adil Huaaaaaaaaa” .

Famenism bercerita tentang seorang sutradara interseks dan artis cantiknya. Si sutradara dibesarkan sebagai cowo padahal dia interseks, memilih untuk menjadi cewe padahal penampakannya lebih maskulin, dan berusaha sekuat tenaga untuk terlihat cantik. Si artis adalah artis papan atas mantan model yang selalu berusaha agar terlihat pintar.

The Brain and The Beauty ini disatukan dalam sebuah produksi film dan dipaksa untuk saling bekerja sama despite of how much they hate and adore each other at the same time. Kompetisi mereka menjadikan produksi film harus ditunda sampai akhirnya masing2 berdamai dengan dirinya sendiri.

Atau sampai gue berdamai dengan diri sendiri karena menulis tentang interseks dalam sebuah film komedi ternyata tidak selucu itu. Banyak sekali penderitaan dan ketidakadilan yang mereka alami di dunia yang berpura-pura kalau cuma ada dua jenis kelamin ini. Banci-banci transgender yang bertebaran di film komedi Indonesia saat ini sama sekali tidak mewakili betapa menariknya human being yang kebetulan mempunyai anatomi seksual berbeda dengan manusia kebanyakan ini.

Awalnya gue tertarik dengan topik ini karena salah satu sutradara favorit gue diisukan interseks. Banyak yang bilang she just made it up soalnya emang dasar dia pengen jadi cewe aja. Buat gue, even sekalipun dia bukan interseks pun... selama itu mendekatkan dirinya dengan tuhannya, walaupun harus ganti kelamin... what the fuss? Who am I to judge?

3) Dharmo

Film thriller tentang sebuah group pertunjukan wayang orang yang sudah mulai meredup dan semua anggotanya mencoba melestraikan diri dengan caranya masing-masing.

Sebenarnya ide ini dari Anky, editor cin(T)a yang belum juga menulis padahal gue selalu percaya tulisan Anky bakal menyegarkan dunia boy-lit Indonesia hihihi=D

Tema ini menggoda gue karena memperlihatkan tubrukan dua generasi, yang sama-sama ingin melestarikan budaya, dan dikemas dengan shot-shot thrilling yang seksi,eksotis, tapi bisa low budget. Di satu sisi budaya sangat penting disuapi ke konsumen MTV yang baru make Batik setelah diakui Malaysia. Di sisi lain, pemaksaan yang tua untuk menolak perubahan dan memaksa yang muda to be more like them malah mengaborsi lahirnya budaya baru.

Apalagi pas lagi ribut2 Malaysia maling sia yang dianggap mencuri Tari Pendet. Pernah gak ya di India terjadi keributan membakar bendera Indonesia karena Yudisthira dan empat adiknya diakui sebagai cerita wayang Indonesia?


So that's top three on my list.

Herannya kupu-kupu di perut gue tidak juga berterbangan. Bukan karena terhambat pangsit dan sate yang memenuhi usus gue akhir2 ini, bukan juga karena belum ada produser dan PH, tapi somehow... Belum ada satu cerita pun yang smells like home.... yet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar