Often I was asked by another young aspiring filmmakers .
This is the question that bugs me the most. First because I don’t know how. (The money for my film get me when I was sipping cheap wine by the Lake Toba.) Secondly, because money is the last thing you need to make a movie.
Robert Rodriguez was right when he said that the world is full of big talents, but they will never get anywhere because they were so negative in thinking. You only need crew, cast, and camera to make a movie. Or in Rodriguez’ case, only cast and camera. Not money.
And some might think it was easy for me to say since the money came to me just like that.
Yes! The money came to me just like that.
And no! It’s not just like that. It involved series of rejection and disappointment before I get the money just like that.
A series of painful no in interviews.
A series of unreplied emails.
A series of approaching directors on the spot.
A series of eavesdropping director’s number and rejected calls.
A series of embarrassment bearing the look on their face when I say I want to make a movie.
I even applied to be the permanent residence of Singapore without my company recommendation just to get that $ 6000 short movie grant. Failed.
And don’t even ask about festivals and competition. I tried it all. Some think I am too classic. Or my film is not art enough. while I don’t even have any idea what classic is ... or what art is.
So if you never get yourself out there shooting something and feel the embarrassment and fear after finding out that you are not that good; or you never applied to all the festivals and production houses just to find out you are not qualified; and you never sell your body to some drug testing company to fund your movie ... don’t you ever whine about money and how it it is the problem that gets in your way to finish your so-long-talk-about movie.
I think the problem is you.
Minggu, 20 September 2009
Will I marry someone with a different faith?
It took me a feature movie and endless travelling to answer it. Why does it take me so long for a simple yes or no question?
I was so afraid that my NO will hurt this movie… and above all, you.
It’s not because I think that you are not qualified enough to be my partner in life. God knows how tempting you are to me. It’s me. I am a very weak and selfish person. I am incapable of loving anyone, even you, forever and ever till death do us apart. My love will definitely fade away some day.
That’s why I need a (T) in my cinTa (Indonesian word for love). (T) is the only one who could strengthen me to stand by him through his weaknesses, entertain me through my incidental boredom of marriage, and comfort me not to take divorce as an option no matter how hard it gets.
And I don’t believe your love, or any love will last. I need a man who loves God more than he loves me. Otherwise, he will just leave this stupid weak girl eventually.
OK. I know you love God too, just in a different way. You think it is ridiculous that we cannot be together. But I happen to love singing in the church, and the idea of a God that is more like a father, and I need a partner who see Him as a father. It’s just like I cannot marry anyone who loves partying all night because I am more of a stay home person. It doesn’t mean that partying is bad, it’s just not for me.
The different lifestyle makes me uncomfortable. I need a guy who I can pray with every morning. I need a guy who refers to the same book for our problems. Because no matter how hard I try to tell myself that we are the same, we are not.
Despite my NO, I do believe that God creates us differently for a beautiful reason, not to make myself feel better than others. And I am very grateful that God let me get to know you. If you can see through my eyes, you will see how blessed I feel just to spend an afternoon of absolutely nothing with you.
Thank you. I love you. I always will.
I was so afraid that my NO will hurt this movie… and above all, you.
It’s not because I think that you are not qualified enough to be my partner in life. God knows how tempting you are to me. It’s me. I am a very weak and selfish person. I am incapable of loving anyone, even you, forever and ever till death do us apart. My love will definitely fade away some day.
That’s why I need a (T) in my cinTa (Indonesian word for love). (T) is the only one who could strengthen me to stand by him through his weaknesses, entertain me through my incidental boredom of marriage, and comfort me not to take divorce as an option no matter how hard it gets.
And I don’t believe your love, or any love will last. I need a man who loves God more than he loves me. Otherwise, he will just leave this stupid weak girl eventually.
OK. I know you love God too, just in a different way. You think it is ridiculous that we cannot be together. But I happen to love singing in the church, and the idea of a God that is more like a father, and I need a partner who see Him as a father. It’s just like I cannot marry anyone who loves partying all night because I am more of a stay home person. It doesn’t mean that partying is bad, it’s just not for me.
The different lifestyle makes me uncomfortable. I need a guy who I can pray with every morning. I need a guy who refers to the same book for our problems. Because no matter how hard I try to tell myself that we are the same, we are not.
Despite my NO, I do believe that God creates us differently for a beautiful reason, not to make myself feel better than others. And I am very grateful that God let me get to know you. If you can see through my eyes, you will see how blessed I feel just to spend an afternoon of absolutely nothing with you.
Thank you. I love you. I always will.
Round and round and round....
Setelah nonton adegan Cina dan Annisa ngomongin agama di sebuah mainan puputeran , banyak penonton pusing. Sangkin pusingnya, ada yang ngusulin supaya adegan itu dihapus saja.
Akhirnya dipotong dari 4 menit ke 2 menit, tapi gak boleh dihapus! Karena emang gitu yang gue rasain kalo ngobrol tentang banding-bandingin agama. Puter-puter terus di tempat yang sama, dan ujungnya cuma bikin pusing. Hal lain menjadi semakin blur, yang jelas bagi kita cuma diri kita sendiri. Dalam situasi ini, yang bisa kita lakukan hanya melihat ke Atas, dan tersenyum mensyukuri sinar matahari yang masih bisa dinikmati.
“Kalau lo nggak bisa nyelesaiin konflik yang jau di sana.. the least you can do, jangan bikin konflik baru di sini deh!” seru Annisa mengakhiri puputeran tanpa ujung.
Akhirnya dipotong dari 4 menit ke 2 menit, tapi gak boleh dihapus! Karena emang gitu yang gue rasain kalo ngobrol tentang banding-bandingin agama. Puter-puter terus di tempat yang sama, dan ujungnya cuma bikin pusing. Hal lain menjadi semakin blur, yang jelas bagi kita cuma diri kita sendiri. Dalam situasi ini, yang bisa kita lakukan hanya melihat ke Atas, dan tersenyum mensyukuri sinar matahari yang masih bisa dinikmati.
“Kalau lo nggak bisa nyelesaiin konflik yang jau di sana.. the least you can do, jangan bikin konflik baru di sini deh!” seru Annisa mengakhiri puputeran tanpa ujung.
Dinding Teror
“Hi Kak Sammaria, salam kenal. Film kakak keren bgt! spiritual! saya jadi teringat ketika saya masih animisme dan dia hedonisme. Ditunggu yah film2 perang kolosalnya...”
Sekilas seperti wall manusia biasa yang sekarang mulai mengunjungi facebook aku. Tapi tidak. It takes me a while to encrypt this. Ini mungkin adalah awal dari terror konspirasi yang lebih universal, yang akan meracuni hidupku sekali lagi.
Penulisnya adalah Pandu, sesorang dari masa lalu, ketua sindikat scene di-cut , aktor senior pemimpin geng barisan sakit hati yang scene-nya di cut dari cin(T)a.
Pandu inilah yang dulu menjerumuskanku dalam dunia gelap pengikut sekte gelap berkedok band metal KOIL. Padahal saat itu aku masih seperti wanita lainnya, suka mendengarkan buaian lagu merindu, ciptaan seorang biduan yang punya banyak pasangan.
Tapi sekarang... aku telah ternoda. Aku harus tiap hari berjuang menahan diri dari keinginan membara menukarkan harga diriku dengan boot dan kaos hitam-hitam... sejak diracuni lirik-lirik KOIL.
“Heh! Ini bukan lirik! Ini wahyu!” bentak pandu menggelegar.
Lirik Koil mencuci otak, mengkeraskan hati wanita-wanita normal seperti aku yang suka berdendang lagu putus cinta dan mencari harapan kembali dengannya. Tiap hari kukumandangkan syair keluguan, mengharap keadilan di muka dunia agar dia kembali. Sebuah syair keluguan yang menjerumuskan seorang teman dan akhirnya aku melukainya tanpa kesadaran. Tanpa sadar aku ikatkan dia pada kesengsaraan karena cintaku yang tak hanya untuknya.
Sampai kapan aku akan menunggunya? Sampai beruban dan waktu terus berlalu. Aku bosan menyanyi kekeluhan, dan mengharap belas kasih alas mental pengampunan. Aku yakin konspirasi inilah..... arrggggggggggghhhhhh. monyet!
Gak cocok deh gue bikin suspense romantis. Is that even a genre? Nyerah ah nyerah!
Pandu, kita bikin komedi aja yukkkk=D
Sekilas seperti wall manusia biasa yang sekarang mulai mengunjungi facebook aku. Tapi tidak. It takes me a while to encrypt this. Ini mungkin adalah awal dari terror konspirasi yang lebih universal, yang akan meracuni hidupku sekali lagi.
Penulisnya adalah Pandu, sesorang dari masa lalu, ketua sindikat scene di-cut , aktor senior pemimpin geng barisan sakit hati yang scene-nya di cut dari cin(T)a.
Pandu inilah yang dulu menjerumuskanku dalam dunia gelap pengikut sekte gelap berkedok band metal KOIL. Padahal saat itu aku masih seperti wanita lainnya, suka mendengarkan buaian lagu merindu, ciptaan seorang biduan yang punya banyak pasangan.
Tapi sekarang... aku telah ternoda. Aku harus tiap hari berjuang menahan diri dari keinginan membara menukarkan harga diriku dengan boot dan kaos hitam-hitam... sejak diracuni lirik-lirik KOIL.
“Heh! Ini bukan lirik! Ini wahyu!” bentak pandu menggelegar.
Lirik Koil mencuci otak, mengkeraskan hati wanita-wanita normal seperti aku yang suka berdendang lagu putus cinta dan mencari harapan kembali dengannya. Tiap hari kukumandangkan syair keluguan, mengharap keadilan di muka dunia agar dia kembali. Sebuah syair keluguan yang menjerumuskan seorang teman dan akhirnya aku melukainya tanpa kesadaran. Tanpa sadar aku ikatkan dia pada kesengsaraan karena cintaku yang tak hanya untuknya.
Sampai kapan aku akan menunggunya? Sampai beruban dan waktu terus berlalu. Aku bosan menyanyi kekeluhan, dan mengharap belas kasih alas mental pengampunan. Aku yakin konspirasi inilah..... arrggggggggggghhhhhh. monyet!
Gak cocok deh gue bikin suspense romantis. Is that even a genre? Nyerah ah nyerah!
Pandu, kita bikin komedi aja yukkkk=D
5.1
“Krrralau tttujuh pulruh mrrenit fffilmnya langggsung happpprrry endrrring, ntar garrkkk serrrru,” tutur robot Annisa sambil memeluk cyborg Cina pada saat premiere cin(T)a di Blitz Bandung.
Buyar sudah kenangan nikmatnya menonton cin(T)a dengan suara bening dan gambar jernih seperti pertama kali menyaksikan cin(T)a di layar lebar National Film Theater London. Premiere di Bandung jadi special edition banget karena... Annisanya blasteran Jawa – Transformer!#?!
Itu cuma sebagian kecil dari cacat suara akibat sutradara bego gak tahu kalau encoding suara dari stereo ke 5.1 itu beresiko tinggi gagal. Akibatnya satu setengah jam premiere menjadi lebih menegangkan dari nonton film action dan menyengsarakan buat sutradara dan produser cin(T)a yang berpelukan duduk di barisan depan dengan posisi ‘get a room’. Tiap suara delay dan Annisa merobot, sutradara menangis-nangis sambil menggigiti produser yang coba menenangkan sambil juga meraung-raung bersama.
But the show must go on! Film gak bisa diberhentikan. Dan sutradara gak boleh keluar,dipaksa menyaksikan her baby transformed into some sci-fi robotic movie. Habislah si produser biru-biru digigiti sutradara selama 79 menit pemutaran.
Untungnya hari itu yang menghadiri premiere adalah keluarga dan calon keluarga kru dan cast, kaum-kaum ‘terpaksa nonton’ yang gak akan mencela film ini karena besarnya cintanya pada kami, filmmaker-filmmaker bodoh ini. Jadinya gue masih punya waktu seminggu sebelum cin(T)a dillepasin ke piranha-piranha film Indonesia minggu depan !
Sejak hari itu sutradara punya hobi baru: Test screening.
Tiap jam 8 pagi sebelum Blitz buka, dan jam 1 pagi setelah Blitz tutup, sutradara terlihat berkeliaran di Grand Indonesia dengan mata hitam tanpa bantuan eye liner. Bahkan pernah suatu hari test screeningnya disusul sprint naek busway ke Blok M di mana wartawan-wartawan udah pada nunggu untuk press conference.
Sammaria terlambat 5 menit, gak sempet pake eye liner, keringetan, bau terminal, dan langsung disambut dengan tuduhan menghina Tuhan dan berusaha membuat agama baru oleh salah satu wartawan. Ngiiik...
Diakhiri dengan tidak jadinya interview cin(T)a ditayangkan di dua televisi nasional Indonesia karena produser mereka merasa isu cin(T) a terlalu sensitive. Batallah program cari jodoh Sammaria di media nasional.
Ditambah dua surat dari organisasi masyarakat kepada LSF yang menyarankan agar cin(T)a ditarik dari peredaran, pemutaran cin(T)a terancam ikutan dibatalkan.
Selain lulus sensor, cin(T)a juga harus lolos test screening Blitz. Kualitas suaranya sudah lebih mendingan dibandingin pas premiere Bandung, tapi masih belum lolos standard screening komersial Blitz.
“Kalau Tuhan mengizinkan, biarlah film ini ditayangkan. Kalau nggak, ya nggak apa-apa.”
Sammaria, Kunyil, dan Kunyir: tiga mbak-mbak pencari jodoh dengan dalih promo cin(T)a cuma bisa pasrah.
“Masa sudah tiga kali test screening gak lulus juga?” kata si Kunyil nyinyir di suatu pagi buta sepulang test screening, berusaha menirukan salah satu adegan cin(T)a yang di-dubbing si Kunyir. Si Kunyir yang disangka sudah tidur tertawa tanpa suara di pojok sana.
Akhir cerita, trimbakentir tetap tertawa. Some invisible hand save their kere ass from trouble. Pihak Bllitz setuju menayangkan cin(T)a dengan suara stereo walau dengan resiko harus terus merubah setting karena setting cin(T)a tidak standard.
Untungnya filmnya laku, jadinya Blitz agak heppi dikit. Dan untungnya Cina dan Annisa cakep, jadi banyak penonton yang masih mentolerir kualitas suaranya yang kadang-kadang mendem di beberapa studio.
Banyak juga sih yang galak... huhuhu maafkan.
Next time... when we have more money... and more knowledge... and more wisdom... I’ll make sure we have a proper sound man. Janji gak bikin pusing sound editor lagi.
Tapi kalo gak bikin biru-biru pak produser, gak janji ya... Karena ternyata enak juga gigit-gigit produser... Nyum... nyum... krauk...=D
Buyar sudah kenangan nikmatnya menonton cin(T)a dengan suara bening dan gambar jernih seperti pertama kali menyaksikan cin(T)a di layar lebar National Film Theater London. Premiere di Bandung jadi special edition banget karena... Annisanya blasteran Jawa – Transformer!#?!
Itu cuma sebagian kecil dari cacat suara akibat sutradara bego gak tahu kalau encoding suara dari stereo ke 5.1 itu beresiko tinggi gagal. Akibatnya satu setengah jam premiere menjadi lebih menegangkan dari nonton film action dan menyengsarakan buat sutradara dan produser cin(T)a yang berpelukan duduk di barisan depan dengan posisi ‘get a room’. Tiap suara delay dan Annisa merobot, sutradara menangis-nangis sambil menggigiti produser yang coba menenangkan sambil juga meraung-raung bersama.
But the show must go on! Film gak bisa diberhentikan. Dan sutradara gak boleh keluar,dipaksa menyaksikan her baby transformed into some sci-fi robotic movie. Habislah si produser biru-biru digigiti sutradara selama 79 menit pemutaran.
Untungnya hari itu yang menghadiri premiere adalah keluarga dan calon keluarga kru dan cast, kaum-kaum ‘terpaksa nonton’ yang gak akan mencela film ini karena besarnya cintanya pada kami, filmmaker-filmmaker bodoh ini. Jadinya gue masih punya waktu seminggu sebelum cin(T)a dillepasin ke piranha-piranha film Indonesia minggu depan !
Sejak hari itu sutradara punya hobi baru: Test screening.
Tiap jam 8 pagi sebelum Blitz buka, dan jam 1 pagi setelah Blitz tutup, sutradara terlihat berkeliaran di Grand Indonesia dengan mata hitam tanpa bantuan eye liner. Bahkan pernah suatu hari test screeningnya disusul sprint naek busway ke Blok M di mana wartawan-wartawan udah pada nunggu untuk press conference.
Sammaria terlambat 5 menit, gak sempet pake eye liner, keringetan, bau terminal, dan langsung disambut dengan tuduhan menghina Tuhan dan berusaha membuat agama baru oleh salah satu wartawan. Ngiiik...
Diakhiri dengan tidak jadinya interview cin(T)a ditayangkan di dua televisi nasional Indonesia karena produser mereka merasa isu cin(T) a terlalu sensitive. Batallah program cari jodoh Sammaria di media nasional.
Ditambah dua surat dari organisasi masyarakat kepada LSF yang menyarankan agar cin(T)a ditarik dari peredaran, pemutaran cin(T)a terancam ikutan dibatalkan.
Selain lulus sensor, cin(T)a juga harus lolos test screening Blitz. Kualitas suaranya sudah lebih mendingan dibandingin pas premiere Bandung, tapi masih belum lolos standard screening komersial Blitz.
“Kalau Tuhan mengizinkan, biarlah film ini ditayangkan. Kalau nggak, ya nggak apa-apa.”
Sammaria, Kunyil, dan Kunyir: tiga mbak-mbak pencari jodoh dengan dalih promo cin(T)a cuma bisa pasrah.
“Masa sudah tiga kali test screening gak lulus juga?” kata si Kunyil nyinyir di suatu pagi buta sepulang test screening, berusaha menirukan salah satu adegan cin(T)a yang di-dubbing si Kunyir. Si Kunyir yang disangka sudah tidur tertawa tanpa suara di pojok sana.
Akhir cerita, trimbakentir tetap tertawa. Some invisible hand save their kere ass from trouble. Pihak Bllitz setuju menayangkan cin(T)a dengan suara stereo walau dengan resiko harus terus merubah setting karena setting cin(T)a tidak standard.
Untungnya filmnya laku, jadinya Blitz agak heppi dikit. Dan untungnya Cina dan Annisa cakep, jadi banyak penonton yang masih mentolerir kualitas suaranya yang kadang-kadang mendem di beberapa studio.
Banyak juga sih yang galak... huhuhu maafkan.
Next time... when we have more money... and more knowledge... and more wisdom... I’ll make sure we have a proper sound man. Janji gak bikin pusing sound editor lagi.
Tapi kalo gak bikin biru-biru pak produser, gak janji ya... Karena ternyata enak juga gigit-gigit produser... Nyum... nyum... krauk...=D
Sabtu, 19 September 2009
What’s next?
Setelah dua bulan jadi manusia nomaden, gue termenung sendirian di Medan yang tiba-tiba sepi entah karena lebaran atau karena hujan yang mencegah gue untuk makan Mie Pangsit Semarang, sementara manusia di pantai utara Jawa berdesak-desakan pengen pulang.
So what’s next? Apa film ke dua gue?
“Buruan bikin lagi! Ntar keburu orang lupa lho,” teringat teriakan Garin Nugroho dari ujung Teater Kecil di sela-sela kerumunan handai taulan mengerumuni. Sementara gue duduk di pojok sana, tak ada yang mengerumuni. Paling cuma semut2 berhubung gue manis.
Gue dah kebelet pengen bikin film lagi, berhubung cin(T)a sepertinya gagal mendatangkan jodoh. Berbekal kesalahan di cin(T)a dan kebebalan gue tetep bikin lagi walaupun yang pertama amburadul, gue mulai mikirin tema film berikutnya. Di cin(T)a gue salah strategi soalnya yang gue casting adalah cina-cina yang lebih muda dari gue.
Sekarang gue harus casting yang sesuai dengan target pasar gue... cowo berdada bidang berkulit gelap dan bukan Simanjuntak. Cerita yang sesuai dengan target pasar gue adalah:
1) Raja kata.
Tentang perjuangan sekumpulan masyarakat desa yang gemar berkata-kata. Dari sekian banyaknya kata yang mereka ucapkan, di kamusnya literally gak ada satu pun kata maaf. Ceritanya simple aja. Tentang perjuangan mereka untuk saling memaafkan. Karena ternyata memaafkan ini jauh lebih sulit daripada memerdekakan Indonesia. Masyarakat ini bernama Batak Toba by the way.
Sebenarnya tema ini paling menarik buat gue. Selain karena gue memang punya disability in forgiving others, ini juga kesempatan gue untuk lebih menghargai Opung-Opung yang kata Malcolm Gladwell turut membentuk gue yang sekarang.
Tapi temanya overweight banget buat mahkluk sekecil gue. Cukup sudah kemaren aku berhadapan dengan ekstrimis-ekstrimis agama, gue butuh break tarik nafas dulu sebelum gue harus berhadapan dengan Batak-Batak galak yang sebenarnya berhati lembut tapi tetap saja menyeramkan. Untuk seorang filmmaker nekat yang film pertamanya masih bermasalah dengan audio, Raja Kata ini bukan lagi menanti keajaiban... tapi sudah langkah memaksa keajaiban to the point it’s very ambitious and thoutghtless.
2) Famenism (when fame and feminism collide)
“Kecantikan Berbanding terbalik dengan kepintaran,” kata Cina.
Andai saja Cina benar. Andai saja cewe cantik memang bego-bego, tentunya masyarakat tanpa kelas Karl Marx akan lebih mudah terwujud. Tapi gue selalu dikutuk dengan teman-teman yang gak hanya cantik dan pintar, mereka juga kaya-kaya dan baik hati. Monyet!
Untunglah Saira Jihan masih gaptek dan foto paspornya ‘fashion-nista’ banget jadi setidaknya sampai Juni 2011, I still have reasons for not crying out loud “Tuhan gak adil Huaaaaaaaaa” .
Famenism bercerita tentang seorang sutradara interseks dan artis cantiknya. Si sutradara dibesarkan sebagai cowo padahal dia interseks, memilih untuk menjadi cewe padahal penampakannya lebih maskulin, dan berusaha sekuat tenaga untuk terlihat cantik. Si artis adalah artis papan atas mantan model yang selalu berusaha agar terlihat pintar.
The Brain and The Beauty ini disatukan dalam sebuah produksi film dan dipaksa untuk saling bekerja sama despite of how much they hate and adore each other at the same time. Kompetisi mereka menjadikan produksi film harus ditunda sampai akhirnya masing2 berdamai dengan dirinya sendiri.
Atau sampai gue berdamai dengan diri sendiri karena menulis tentang interseks dalam sebuah film komedi ternyata tidak selucu itu. Banyak sekali penderitaan dan ketidakadilan yang mereka alami di dunia yang berpura-pura kalau cuma ada dua jenis kelamin ini. Banci-banci transgender yang bertebaran di film komedi Indonesia saat ini sama sekali tidak mewakili betapa menariknya human being yang kebetulan mempunyai anatomi seksual berbeda dengan manusia kebanyakan ini.
Awalnya gue tertarik dengan topik ini karena salah satu sutradara favorit gue diisukan interseks. Banyak yang bilang she just made it up soalnya emang dasar dia pengen jadi cewe aja. Buat gue, even sekalipun dia bukan interseks pun... selama itu mendekatkan dirinya dengan tuhannya, walaupun harus ganti kelamin... what the fuss? Who am I to judge?
3) Dharmo
Film thriller tentang sebuah group pertunjukan wayang orang yang sudah mulai meredup dan semua anggotanya mencoba melestraikan diri dengan caranya masing-masing.
Sebenarnya ide ini dari Anky, editor cin(T)a yang belum juga menulis padahal gue selalu percaya tulisan Anky bakal menyegarkan dunia boy-lit Indonesia hihihi=D
Tema ini menggoda gue karena memperlihatkan tubrukan dua generasi, yang sama-sama ingin melestarikan budaya, dan dikemas dengan shot-shot thrilling yang seksi,eksotis, tapi bisa low budget. Di satu sisi budaya sangat penting disuapi ke konsumen MTV yang baru make Batik setelah diakui Malaysia. Di sisi lain, pemaksaan yang tua untuk menolak perubahan dan memaksa yang muda to be more like them malah mengaborsi lahirnya budaya baru.
Apalagi pas lagi ribut2 Malaysia maling sia yang dianggap mencuri Tari Pendet. Pernah gak ya di India terjadi keributan membakar bendera Indonesia karena Yudisthira dan empat adiknya diakui sebagai cerita wayang Indonesia?
So that's top three on my list.
Herannya kupu-kupu di perut gue tidak juga berterbangan. Bukan karena terhambat pangsit dan sate yang memenuhi usus gue akhir2 ini, bukan juga karena belum ada produser dan PH, tapi somehow... Belum ada satu cerita pun yang smells like home.... yet.
So what’s next? Apa film ke dua gue?
“Buruan bikin lagi! Ntar keburu orang lupa lho,” teringat teriakan Garin Nugroho dari ujung Teater Kecil di sela-sela kerumunan handai taulan mengerumuni. Sementara gue duduk di pojok sana, tak ada yang mengerumuni. Paling cuma semut2 berhubung gue manis.
Gue dah kebelet pengen bikin film lagi, berhubung cin(T)a sepertinya gagal mendatangkan jodoh. Berbekal kesalahan di cin(T)a dan kebebalan gue tetep bikin lagi walaupun yang pertama amburadul, gue mulai mikirin tema film berikutnya. Di cin(T)a gue salah strategi soalnya yang gue casting adalah cina-cina yang lebih muda dari gue.
Sekarang gue harus casting yang sesuai dengan target pasar gue... cowo berdada bidang berkulit gelap dan bukan Simanjuntak. Cerita yang sesuai dengan target pasar gue adalah:
1) Raja kata.
Tentang perjuangan sekumpulan masyarakat desa yang gemar berkata-kata. Dari sekian banyaknya kata yang mereka ucapkan, di kamusnya literally gak ada satu pun kata maaf. Ceritanya simple aja. Tentang perjuangan mereka untuk saling memaafkan. Karena ternyata memaafkan ini jauh lebih sulit daripada memerdekakan Indonesia. Masyarakat ini bernama Batak Toba by the way.
Sebenarnya tema ini paling menarik buat gue. Selain karena gue memang punya disability in forgiving others, ini juga kesempatan gue untuk lebih menghargai Opung-Opung yang kata Malcolm Gladwell turut membentuk gue yang sekarang.
Tapi temanya overweight banget buat mahkluk sekecil gue. Cukup sudah kemaren aku berhadapan dengan ekstrimis-ekstrimis agama, gue butuh break tarik nafas dulu sebelum gue harus berhadapan dengan Batak-Batak galak yang sebenarnya berhati lembut tapi tetap saja menyeramkan. Untuk seorang filmmaker nekat yang film pertamanya masih bermasalah dengan audio, Raja Kata ini bukan lagi menanti keajaiban... tapi sudah langkah memaksa keajaiban to the point it’s very ambitious and thoutghtless.
2) Famenism (when fame and feminism collide)
“Kecantikan Berbanding terbalik dengan kepintaran,” kata Cina.
Andai saja Cina benar. Andai saja cewe cantik memang bego-bego, tentunya masyarakat tanpa kelas Karl Marx akan lebih mudah terwujud. Tapi gue selalu dikutuk dengan teman-teman yang gak hanya cantik dan pintar, mereka juga kaya-kaya dan baik hati. Monyet!
Untunglah Saira Jihan masih gaptek dan foto paspornya ‘fashion-nista’ banget jadi setidaknya sampai Juni 2011, I still have reasons for not crying out loud “Tuhan gak adil Huaaaaaaaaa” .
Famenism bercerita tentang seorang sutradara interseks dan artis cantiknya. Si sutradara dibesarkan sebagai cowo padahal dia interseks, memilih untuk menjadi cewe padahal penampakannya lebih maskulin, dan berusaha sekuat tenaga untuk terlihat cantik. Si artis adalah artis papan atas mantan model yang selalu berusaha agar terlihat pintar.
The Brain and The Beauty ini disatukan dalam sebuah produksi film dan dipaksa untuk saling bekerja sama despite of how much they hate and adore each other at the same time. Kompetisi mereka menjadikan produksi film harus ditunda sampai akhirnya masing2 berdamai dengan dirinya sendiri.
Atau sampai gue berdamai dengan diri sendiri karena menulis tentang interseks dalam sebuah film komedi ternyata tidak selucu itu. Banyak sekali penderitaan dan ketidakadilan yang mereka alami di dunia yang berpura-pura kalau cuma ada dua jenis kelamin ini. Banci-banci transgender yang bertebaran di film komedi Indonesia saat ini sama sekali tidak mewakili betapa menariknya human being yang kebetulan mempunyai anatomi seksual berbeda dengan manusia kebanyakan ini.
Awalnya gue tertarik dengan topik ini karena salah satu sutradara favorit gue diisukan interseks. Banyak yang bilang she just made it up soalnya emang dasar dia pengen jadi cewe aja. Buat gue, even sekalipun dia bukan interseks pun... selama itu mendekatkan dirinya dengan tuhannya, walaupun harus ganti kelamin... what the fuss? Who am I to judge?
3) Dharmo
Film thriller tentang sebuah group pertunjukan wayang orang yang sudah mulai meredup dan semua anggotanya mencoba melestraikan diri dengan caranya masing-masing.
Sebenarnya ide ini dari Anky, editor cin(T)a yang belum juga menulis padahal gue selalu percaya tulisan Anky bakal menyegarkan dunia boy-lit Indonesia hihihi=D
Tema ini menggoda gue karena memperlihatkan tubrukan dua generasi, yang sama-sama ingin melestarikan budaya, dan dikemas dengan shot-shot thrilling yang seksi,eksotis, tapi bisa low budget. Di satu sisi budaya sangat penting disuapi ke konsumen MTV yang baru make Batik setelah diakui Malaysia. Di sisi lain, pemaksaan yang tua untuk menolak perubahan dan memaksa yang muda to be more like them malah mengaborsi lahirnya budaya baru.
Apalagi pas lagi ribut2 Malaysia maling sia yang dianggap mencuri Tari Pendet. Pernah gak ya di India terjadi keributan membakar bendera Indonesia karena Yudisthira dan empat adiknya diakui sebagai cerita wayang Indonesia?
So that's top three on my list.
Herannya kupu-kupu di perut gue tidak juga berterbangan. Bukan karena terhambat pangsit dan sate yang memenuhi usus gue akhir2 ini, bukan juga karena belum ada produser dan PH, tapi somehow... Belum ada satu cerita pun yang smells like home.... yet.
Kenapa Kita Harus Menikah?
...tanya gue di satatus Facebook.
Dalam sekejap responsnya 40, ngalah2in respon status gue yang “Menurut lo, gue lesbi gak?” yang responsnya cuma 30an.
Ada yang dengan pede bilang menikah itu pilihan, bukan keharusan.
Ada yang mo nyenengin orang lain (masyarakat, orang tua, anybody but herself)
Ada yang gak mau dibilang ‘mulak malging’ (apaan nih?)
Ada yang ngeliat nikah as a way to escape all the nagging so he can say back off.
Ada yang gak rela dibilang gak laku.
Ada yang pengen punya anak, jadinya nikah dulu biar gak ditanyain anak siapa.
Ada yang pengen namanya diteruskan.
Ada yang pengen make love tanpa berdosa.
Ada yang mengikuti instinct to replicate themself. Spread the SEED!
Ada yang pengen meng-hekter seseorang.
Ada yang biar bisa cerai kaya Krisdayanti.
Ada juga yang gak bisa bangun peradaban, jadinya bangun keluarga aja karena keluarga adalah bangunan agung.
Ada yang ingin dilengkapi.
Ada yang ingin ditemani.
Ada yang ingin dimengerti.
Ada yang gak ngerti and ikutan nimbrung nanya di status gue.
Ada yang biar bisa beranak cucu dan memenuhi bumi biar bisa memuliakan Tuhan.
Ada yang nyuruh gue tobat dan cepetan kawin biar mamakku senang.
Ada yang bosen ama tangan kanannya, dan butuh jenis otot lain yang juga fungsinya mencengkeram. (I hope he gets a wife instead of a motor bebek)
Ada yang takut pintu rumah digedor orang sekampung kalo cowonya nginep di rumah.
Ada juga karena that's the only way he'll ever get laid.
Ada yang ikutan trend Bang Rhoma. Film ini gak sah tanpa wawancara bang rhoma cause dia salah satu pakar buat hal ini... :D
Semuanya bikin gue ketawa2 dan bertambah yakin:
Nikah is a serious thing, but it can make a very funny movie=D
Dalam sekejap responsnya 40, ngalah2in respon status gue yang “Menurut lo, gue lesbi gak?” yang responsnya cuma 30an.
Ada yang dengan pede bilang menikah itu pilihan, bukan keharusan.
Ada yang mo nyenengin orang lain (masyarakat, orang tua, anybody but herself)
Ada yang gak mau dibilang ‘mulak malging’ (apaan nih?)
Ada yang ngeliat nikah as a way to escape all the nagging so he can say back off.
Ada yang gak rela dibilang gak laku.
Ada yang pengen punya anak, jadinya nikah dulu biar gak ditanyain anak siapa.
Ada yang pengen namanya diteruskan.
Ada yang pengen make love tanpa berdosa.
Ada yang mengikuti instinct to replicate themself. Spread the SEED!
Ada yang pengen meng-hekter seseorang.
Ada yang biar bisa cerai kaya Krisdayanti.
Ada juga yang gak bisa bangun peradaban, jadinya bangun keluarga aja karena keluarga adalah bangunan agung.
Ada yang ingin dilengkapi.
Ada yang ingin ditemani.
Ada yang ingin dimengerti.
Ada yang gak ngerti and ikutan nimbrung nanya di status gue.
Ada yang biar bisa beranak cucu dan memenuhi bumi biar bisa memuliakan Tuhan.
Ada yang nyuruh gue tobat dan cepetan kawin biar mamakku senang.
Ada yang bosen ama tangan kanannya, dan butuh jenis otot lain yang juga fungsinya mencengkeram. (I hope he gets a wife instead of a motor bebek)
Ada yang takut pintu rumah digedor orang sekampung kalo cowonya nginep di rumah.
Ada juga karena that's the only way he'll ever get laid.
Ada yang ikutan trend Bang Rhoma. Film ini gak sah tanpa wawancara bang rhoma cause dia salah satu pakar buat hal ini... :D
Semuanya bikin gue ketawa2 dan bertambah yakin:
Nikah is a serious thing, but it can make a very funny movie=D
A Story I Care Most About
“Why did you make cin(T)a?” Tanya Roland Samosir, amang gila yang rela duitnya dipertaruhkan para penjudi takdir di cin(T)a.
“I guess I just had too many anger that time,” jawab Sammaria sambil menyeruput juice melon dingin di tengah udara utara Bandung yang konon menusuk tulang, tapi tak mampu menusuk lemak Sammaria.
“And what are you angry about now?” tanyanya lagi.
“Nothing. I am not angry anymore. I guess making a movie is really a good therapy for my soul,” jawab Sammaria jujur... sambil melirik daftar menu siap2 mesen lagi.
“Not angry, but hungry, huh?” celutuk amang Samosir melihat Sammaria melambaikan tangan ke arah pelayan.
“Not really hungry for food. I am hungry for something warm... Like hot chocolate..., “ kata sammaria pada si pelayan.
Lalu Sammaria menoleh sok misterius pada amang, “and hot boys...hehehehhe.”
But her ‘hehehehe’ ternyata ditanggapi serius oleh si amang. Amang malah melipat tangan dan menutup mata.
“I think this should be your next movie,” tutur amang tiba2 dapet wangsit.
Sammaria bengong. Amang tetep bersabda, “About an unconventional Indonesian women trying to find a husband with the background of her sister getting married.”
Petir menyambar di kejauhan.
Sabda amang, sesuatu yang jujur dan dari hati itu pasti akan relate dengan orang banyak. The reason why cin(T)a speaks to so many people is because it came from the heart... no matter how dark and painful that heart was.
Thus spake amang. She doesn’t think so.
Bosen ah nyeritain diri sendiri. Masih banyak perkara lain yang lebih penting di dunia ini. Banjir Bandang di Madina. Desa yang longsor karena kades korup. Perjuangan ibu nyelamatin anaknya di Gaza. Something more important like Yasmin Ahmad’s blog. She writes so much about all the important things in this world. Sammaria gak mau filmnya cuma tentang cewe gak laku-laku pengen kawin gara2 kakaknya kawinan.
Sammaria bercerita tentang ini ke kakaknya. She can’t help noticing the excitement in her sister’s eyes. Even the idea of having a character based on the sister really makes her tersanjung 6. Si kakak nggak ngomong... tapi bibir atasnya merapat dan gigi tonggosnya (despite of years of kawat gigi) menyembul ke luar. Gigi yang gak bisa disembunyikan tiap si kakak senang. Makanya si kakak nggak bisa boong dan gak bisa ikutan maen film walaupun cuma jadi ekstras jualan pulsa.
“Ah kau! Kutu di seberang lautan kau cari. Gajah di depan mata kau tak lihat,” sungut si kakak masih sakit hati karena foto2 di kamarnya diturunin semua pas shooting cin(T)a. Alhasil kamarnya tenar, foto doi nggak.
Habisnya penonton Indonesia lebih prefer kutu daripada gajah. Kalau pake gajah kayak si kakak, bisa2 gak laku filmnya.
“Aku pun mau maen pilem lah... Kalo belon, tak mau dulu aku mati,” sahut Opung Sammaria yang tak kalah gajah. Kalau gajah yang ini susah ditolak. Mending kalau cuma dikutuk jadi batu. Bisa-bisa supply Batak ganteng berkurang.
Terpaksalah Sammaria mengangguk.
“Tapi nanti mami pake baju apa ya?” tiba-tiba Mak Gondut udah milih2 baju di depan lemari 10 meternya tapi tetep ngaku gak punya baju tiap ada kawinan. Ternyata Mak Gondut juga sudah kegeeran bakal diajak shooting.
“Enam bulan lagilah kita shooting. Biar kuturunkan dulu berat badan,” kata Kak
Melda, another Boru Juntak yang tak kalah gajah dan tak kalah menyeramkan kalau sampai ditolak ikutan.
Jadi film ke dua Sammaria sudah diputuskan sebelum Sammaria sempat berkata tidak. Ternyata tidak hanya perkawinan di Batak saja yang ditentukan orang tua. Film tentang perkawinan di Batak pun ditentukan orang tua.
Sammaria merenung berusaha mencari inspirasi. Tiba2 sebuah message di facebook nongol.
Dari si Kunyir, si nyinyir 30 tahun yang belon kawin2. Kunyir ngirimin foto hasil eksperimen dia biar Sammaria bisa makan chocolate fondant kesukaannya yang cuma ada di Jakarta. Mencium baunya aja Sammaria udah goyang-goyang ekor.
Sontak Sammaria terharu. Bau chocolate fondant tidak lagi begitu ngangenin. Tiba-tiba Sammaria malah kangen semilir minyak tawon si Kunyir yang selalu bikin bau satu kamar tiap nginep bareng Kunyir.
Sammaria looked back at her laptop, trying to write something important.
But what is important to her?
Si Kunyir, mbak2 nyinyir 30 tahun yang belum kawin2 because of some mas-mas autis who cannot see how beautiful she is.
Si Kunyil, neng2 geulis bin ajaib yang cuma pernah 2 kali jadian di hidupnya while she deserves better than those two snobs.
Mak Gondut, mak comblang nomor wahid yang kesusahan nyomblangin anak sendiri.
Opung Mak, nenek2 yang mulai halusinasi karena kurang temen ngobrol semenjak suaminya meninggal.
Si Chica, singa galak yang ngakunya galak karena belum kawin2 (dan pas mo kawin tetep galak karena stres mo kawin)
These are the people important to her. If making a movie based on their characters put a bit of light in their eyes, then this is a story she should write.
But what about the intersex director that fight for human being? About some hungry people in Gaza? About helping the flood victim in Medina? About all those important stuffs in this world?
I guess some important people will write about them.
So this is my next story.
A story about an unimportant Indonesian girl, in search of a perfect love, but never feels less important, because she was surrounded by those she loves, the unimportant people of the world.
“I guess I just had too many anger that time,” jawab Sammaria sambil menyeruput juice melon dingin di tengah udara utara Bandung yang konon menusuk tulang, tapi tak mampu menusuk lemak Sammaria.
“And what are you angry about now?” tanyanya lagi.
“Nothing. I am not angry anymore. I guess making a movie is really a good therapy for my soul,” jawab Sammaria jujur... sambil melirik daftar menu siap2 mesen lagi.
“Not angry, but hungry, huh?” celutuk amang Samosir melihat Sammaria melambaikan tangan ke arah pelayan.
“Not really hungry for food. I am hungry for something warm... Like hot chocolate..., “ kata sammaria pada si pelayan.
Lalu Sammaria menoleh sok misterius pada amang, “and hot boys...hehehehhe.”
But her ‘hehehehe’ ternyata ditanggapi serius oleh si amang. Amang malah melipat tangan dan menutup mata.
“I think this should be your next movie,” tutur amang tiba2 dapet wangsit.
Sammaria bengong. Amang tetep bersabda, “About an unconventional Indonesian women trying to find a husband with the background of her sister getting married.”
Petir menyambar di kejauhan.
Sabda amang, sesuatu yang jujur dan dari hati itu pasti akan relate dengan orang banyak. The reason why cin(T)a speaks to so many people is because it came from the heart... no matter how dark and painful that heart was.
Thus spake amang. She doesn’t think so.
Bosen ah nyeritain diri sendiri. Masih banyak perkara lain yang lebih penting di dunia ini. Banjir Bandang di Madina. Desa yang longsor karena kades korup. Perjuangan ibu nyelamatin anaknya di Gaza. Something more important like Yasmin Ahmad’s blog. She writes so much about all the important things in this world. Sammaria gak mau filmnya cuma tentang cewe gak laku-laku pengen kawin gara2 kakaknya kawinan.
Sammaria bercerita tentang ini ke kakaknya. She can’t help noticing the excitement in her sister’s eyes. Even the idea of having a character based on the sister really makes her tersanjung 6. Si kakak nggak ngomong... tapi bibir atasnya merapat dan gigi tonggosnya (despite of years of kawat gigi) menyembul ke luar. Gigi yang gak bisa disembunyikan tiap si kakak senang. Makanya si kakak nggak bisa boong dan gak bisa ikutan maen film walaupun cuma jadi ekstras jualan pulsa.
“Ah kau! Kutu di seberang lautan kau cari. Gajah di depan mata kau tak lihat,” sungut si kakak masih sakit hati karena foto2 di kamarnya diturunin semua pas shooting cin(T)a. Alhasil kamarnya tenar, foto doi nggak.
Habisnya penonton Indonesia lebih prefer kutu daripada gajah. Kalau pake gajah kayak si kakak, bisa2 gak laku filmnya.
“Aku pun mau maen pilem lah... Kalo belon, tak mau dulu aku mati,” sahut Opung Sammaria yang tak kalah gajah. Kalau gajah yang ini susah ditolak. Mending kalau cuma dikutuk jadi batu. Bisa-bisa supply Batak ganteng berkurang.
Terpaksalah Sammaria mengangguk.
“Tapi nanti mami pake baju apa ya?” tiba-tiba Mak Gondut udah milih2 baju di depan lemari 10 meternya tapi tetep ngaku gak punya baju tiap ada kawinan. Ternyata Mak Gondut juga sudah kegeeran bakal diajak shooting.
“Enam bulan lagilah kita shooting. Biar kuturunkan dulu berat badan,” kata Kak
Melda, another Boru Juntak yang tak kalah gajah dan tak kalah menyeramkan kalau sampai ditolak ikutan.
Jadi film ke dua Sammaria sudah diputuskan sebelum Sammaria sempat berkata tidak. Ternyata tidak hanya perkawinan di Batak saja yang ditentukan orang tua. Film tentang perkawinan di Batak pun ditentukan orang tua.
Sammaria merenung berusaha mencari inspirasi. Tiba2 sebuah message di facebook nongol.
Dari si Kunyir, si nyinyir 30 tahun yang belon kawin2. Kunyir ngirimin foto hasil eksperimen dia biar Sammaria bisa makan chocolate fondant kesukaannya yang cuma ada di Jakarta. Mencium baunya aja Sammaria udah goyang-goyang ekor.
Sontak Sammaria terharu. Bau chocolate fondant tidak lagi begitu ngangenin. Tiba-tiba Sammaria malah kangen semilir minyak tawon si Kunyir yang selalu bikin bau satu kamar tiap nginep bareng Kunyir.
Sammaria looked back at her laptop, trying to write something important.
But what is important to her?
Si Kunyir, mbak2 nyinyir 30 tahun yang belum kawin2 because of some mas-mas autis who cannot see how beautiful she is.
Si Kunyil, neng2 geulis bin ajaib yang cuma pernah 2 kali jadian di hidupnya while she deserves better than those two snobs.
Mak Gondut, mak comblang nomor wahid yang kesusahan nyomblangin anak sendiri.
Opung Mak, nenek2 yang mulai halusinasi karena kurang temen ngobrol semenjak suaminya meninggal.
Si Chica, singa galak yang ngakunya galak karena belum kawin2 (dan pas mo kawin tetep galak karena stres mo kawin)
These are the people important to her. If making a movie based on their characters put a bit of light in their eyes, then this is a story she should write.
But what about the intersex director that fight for human being? About some hungry people in Gaza? About helping the flood victim in Medina? About all those important stuffs in this world?
I guess some important people will write about them.
So this is my next story.
A story about an unimportant Indonesian girl, in search of a perfect love, but never feels less important, because she was surrounded by those she loves, the unimportant people of the world.
menonton penonton
Juli dan Agustus gue lewati tanpa menulis. (Good job for someone who wish to be a writer someday) Juli dan Agustus gue diisi dengan menonton penonton cin(T)a di berbagai tempat, monopoli microphone di tiap diskusi dengan harap2 disuruh nyanyi, dan mengurangi populasi unggas dan babi di berbagai pelosok dunia yang mengundang gue muterin cin(T)a. Wauahahhahhahah alhasil program “amazing sammaria, truly asia” gue ditunda karena tidak bisa tampil singset pas premiere.
Juli dan agustus jadi roller coaster terseru di hidup gue, menggeser posisi magic mountain di Anaheim yang efek thrillingnya cuma tahan 5 menit. Ternyata ada lhooo yang mau nonton film cin(T)a. Di atas kertas kotretan produser2 hantu masa kini, film beginian mustahil ada yang nonton. Pemainnya cuma 2 dan entah siapa; produser dan semua krunya baru pertama bikin film; gak ada adegan seks, kekerasan, maupun seks dalam kekerasan; ngomonginnya suku agama ras dan IP sepanjang film... mak! Malas kali pun muda mudi Indonesie ‘ni menonton film macam tu. Untung sutradaranya cantik dan pandai merayu.
Makanya pas tiket cin(T)a sold out di mana-mana, gue diserang rasa takjub sekaligus bersalah. Takjub karena ternyata God Is Really A Director. Cin(T)a adalah bagian kecil dari skenario besar Doi yang jauh lebih seru. Merasa bersalah karena ternyata tagline “God Is A Director” tidak mampu menggambarkan kreativitas Doi. Ternyata God Is A Producer juga. A Promo Manager juga. A Marketing Executive juga.
God is everything... and nothing....
Hahaha... I’ve heard that before, but never could understand the nothingness bullshit. How come anything be nothing and everything at the same time? It took some people a calm and quiet minute to understand. It took me 24 months of hectic movie production , long debates, and endless travelling to actually understand that God is nothing and everything. I guess some Batak are just too stubborn to understand things in serenity.
Respon cin(T)a sangat beragam. Ada yang menyebut gue titisan Yasmin Ahmad. Ada yang bilang gue titisan tukang sampah dan sebaiknya gak usah ada. (Berhubung gua dari Bandung di mana tukang sampah sangat dibutuhkan, I took that as a compliment hehehe) Yang lebih menarik dari menonton cin(T)a ya memang menonton penontonnya. Menonton penonton cin(T)a seperti menonton Indonesia sepuluh tahun ke depan. Karena dalam 10 tahun, orang2 inilah yang akan megang Indonesia.
Bertemu dengan para penonton cin(T)a, gue jadi semakin tenang. Hilang semua kemarahan dan pahit hati yang membensini gue untuk bikin cin(T)a. Mereka tidak selalu setuju dengan gua, dan masih ada juga manusia2 galak yang kupingnya cuma asesoris, tapi setidaknya kebanyakan kuping ternyata masih dipakai untuk saling mendengarkan.
I have a feeling God is smiling watching all of us here.
Juli dan agustus jadi roller coaster terseru di hidup gue, menggeser posisi magic mountain di Anaheim yang efek thrillingnya cuma tahan 5 menit. Ternyata ada lhooo yang mau nonton film cin(T)a. Di atas kertas kotretan produser2 hantu masa kini, film beginian mustahil ada yang nonton. Pemainnya cuma 2 dan entah siapa; produser dan semua krunya baru pertama bikin film; gak ada adegan seks, kekerasan, maupun seks dalam kekerasan; ngomonginnya suku agama ras dan IP sepanjang film... mak! Malas kali pun muda mudi Indonesie ‘ni menonton film macam tu. Untung sutradaranya cantik dan pandai merayu.
Makanya pas tiket cin(T)a sold out di mana-mana, gue diserang rasa takjub sekaligus bersalah. Takjub karena ternyata God Is Really A Director. Cin(T)a adalah bagian kecil dari skenario besar Doi yang jauh lebih seru. Merasa bersalah karena ternyata tagline “God Is A Director” tidak mampu menggambarkan kreativitas Doi. Ternyata God Is A Producer juga. A Promo Manager juga. A Marketing Executive juga.
God is everything... and nothing....
Hahaha... I’ve heard that before, but never could understand the nothingness bullshit. How come anything be nothing and everything at the same time? It took some people a calm and quiet minute to understand. It took me 24 months of hectic movie production , long debates, and endless travelling to actually understand that God is nothing and everything. I guess some Batak are just too stubborn to understand things in serenity.
Respon cin(T)a sangat beragam. Ada yang menyebut gue titisan Yasmin Ahmad. Ada yang bilang gue titisan tukang sampah dan sebaiknya gak usah ada. (Berhubung gua dari Bandung di mana tukang sampah sangat dibutuhkan, I took that as a compliment hehehe) Yang lebih menarik dari menonton cin(T)a ya memang menonton penontonnya. Menonton penonton cin(T)a seperti menonton Indonesia sepuluh tahun ke depan. Karena dalam 10 tahun, orang2 inilah yang akan megang Indonesia.
Bertemu dengan para penonton cin(T)a, gue jadi semakin tenang. Hilang semua kemarahan dan pahit hati yang membensini gue untuk bikin cin(T)a. Mereka tidak selalu setuju dengan gua, dan masih ada juga manusia2 galak yang kupingnya cuma asesoris, tapi setidaknya kebanyakan kuping ternyata masih dipakai untuk saling mendengarkan.
I have a feeling God is smiling watching all of us here.
Langganan:
Postingan (Atom)