Sekotak lempuk durian, dibawa jauh-jauh dari bengkulu, nginep di cianjur, lanjut ke bandung, nyasar ke setiabudi, dan akhirnya sampai ke gue.
Gue gak suka durian.
Tapi tentu saja tetap kuterima, tak tega menolak mukanya yang berpeluh abis nyasar magrib-magrib di kota orang.
'jadi kenapa mbak bikin cin(T)a ?'
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan saya sendiri kenapa Allah nyiptain kita beda-beda bla bla bla bla bla...
Setelah ditanya untuk ke sekian kalinya, dan menjawab untuk kesekian kalinya, 'kenapa' jadi seperti kehilangan makna. Apalagi etelah sadar, I sound better than the real soul inside.
Demi apa gue bikin film?
Biar ada yang rela jauh-jauh dateng dari bengkulu cuma untuk ketemu gua 15 menit? Biar gak resah lagi? Biar ngusik orang aja? Biar gue hepi?
Biar dikasih lempuk durian?
Film melibatkan terlalu banyak orang cuma untuk bikin gue hepi. Kalau gue bosen, gak bisa ditinggal. Terlalu banyak energi yang sudah mereka berikan. It's work. It can't be personal.
"It's always personal. Lo kira kenapa hitler ngebantai yahudi? It's never not personal, girl."
But life is a choice. No one is pushing you to stay. You can always runaway. It's only a movie.
"Tapi banyak banget yang akan patah harapan kalau gue sampai ninggalin ini..."
Come on. It's only a movie. You're not starting a revolution here.
Jut sell it to the TV and get the investment money back. Move on to your next projects. The sexy dancing gale? The fabulous Curious Grandmas? The conscious Resign Club?
It's only a movie.
Is it?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar