Minggu, 18 Desember 2011

history of desire

"Berhubung gue gak jadi-jadi ketemu ama lo, lewat BBM aja ya. Mumpung lo belon kawin. Gue cuma mau bilang gue sempet naksir banget ama lo."

Diketawain.

"Monyet. Tapi gue juga ngetawain gue sendiri juga sih."

Diterima-kasihin.

Lebih monyet.

Nothing worse than a love confession and a thank you in return.

But surprisingly, it does not hurt me anymore. Padahal dulu satu sms dari doi bisa bikin hari gue berubah durjana.

Sekarang gue melenggang kangkung di kawinan doi sambil promo diri. Surprisingly, dua tiga lelaki terprospeki.

Dua lelaki, satu bukan. Hihihi.

Asal batak kan, mi? Gak bilang cowo apa cewe.

"Lo bandel-bandel aja sekarang Tid," kata sahabat yang sudah nyobain sebelas titit... eh... sebelas t***t dan akhirnya memutuskan menikah di usia dua tujuh.

"Ntar juga kalau udah ketemu t**** yang pas, lo pasti tahu."

Saat teman-teman kita selingkuh, dia dengan senang hati pulang ke rumah nyusuin anak.

Clubbing?

Sex?

Concert?

Been there, done that. Lebih seru ngedandanin anak.

"Gue kawin kecepatan kalik ya?"

"Nggak ah. Si Dini cuma pernah nyobain Soni, tapi nyandu banget tuh kayanya."

Eh...

"Nggak ah. Si D*** cuma pernah nyobain S***, tapi nyandu banget tuh kayanya."

Baru dua tahun. Tunggu dua tahun lagi.

"Hey, Babe. Ntar di Bandung gue nginep di tempat lo ya. Private screening."

Duh. I don't trust myself.

Tapi tenang. Suami dia perfect, gak mungkin ada apa-apa ama gue.

"Justru yang perfect-perfect itu, Tid. Suami gue juga perfect, kata orang. Buktinya?"

Kenapa kita resah?

"Keintiman adl diskusi bersama, kehancuran hati bersama, keheningan bersama, kesedihan dan sukacita bersama, komitmen bersama. It's not sex."

Yang bisa diajak diskusi, hancur, hening, sedih, suka, dan komit sih banyak, Bang. We need sex.

Really?

Nggak juga sih.

Kayanya enak juga ya hening bersama.

Really?

Dasar perawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar