“Lo gimana sih mulainya, Tid?” tanyanya.
Beberapa bulan lalu dia bercerai dan resign dari pekerjaannya sebagai arsitek untuk villa-vila jutaan dollar dengan gaji 5 juta. Dengan gagah berani, dia memulai lembaran baru dengan mengencani lelaki dari berbagai benua dan menuliskannya dalam sebuah blog private, The Adventure Of Pussy Dewata.
The next thing I know, Pussy Dewata sudah kembali bekerja jadi arsitek di salah satu gedung di Kuningan sana.
Dan sekarang dia mulai kepikiran resign lagi setelah bertemu dengan lelaki Perancis pembuat klafuti.
“Gue mulainya dulu gimana ya? Ya resign aja,” jawab gue sok cuek.
Dia semakin resah. Sepertinya jawaban gue gak membantu.
Gue merasa bersalah karena membuat semuanya terdengar begitu gampang.
Awalnya gue resign emang gampang. Gue yakin akan dapat pekerjaan di advertising agency di Singapur. Too much confidence and less understanding on the message of ‘The Alchemist’.
Kerjaannya sih dapet, tapi work permit-nya nggak. Teringat pertama gue baca email kalau work permit gue ditolak, dunia serasa runtuh. Gue terdiam di cubicle warnet jam-jaman itu, gak ngapa-ngapain. Cuma bengong. Berasa gak berbakat dan gak berharga.
Gue takut. Sampai kembali ke kamar gue pun, gue masih gemetar. Sekarang gue harus ngapain?
Saat itu, gue akhirnya menyanyi. It’s like berdoa, tapi gak perlu mikir.
Firmanmu pelita bagi kakiku, terang bagi jalanku…
Waktu kubimbang dan hilang arahku, tetaplah kau di sisiku.
Dan takkan kutakut asal kau di dekatku
Besertaku selamanya…
Dan kini, setelah definisi gue tentang Tuhan sudah jauh bergeser dari doktrin HKBP, lagu itu tetap berarti bagi gue.
“Coba berdoa gimana, Din?” jawab gue takut dikira basi.
Sepertinya dia setuju.