“Yang exciting dari masuk kompetisi di Critics Week Cannes, gak cuma filmnya diputer. Tapi Desember nanti gue diundang sebulan nulis di Perancis. Feature Film!”
Sebuah adegan feature film co-production Indonesia-Perancis yang dibintangi Marion Cotillard melintas di benak gue.
It is good. It is daring. Dan gue yakin, hanya dia yang bisa bikin.
Marion Cotillard tergeser dari benak gue yang flashback ke beberapa tahun lalu, di sebuah kafe kecil bernama Tokyo di Bandung. Hari itu dia datang membawa sebuah majalah yang isinya homo-homo intelektual.
“Gue pengen banget deh bikin kaya gini. Abisnya kok temen-temen gue ngomonginnya parti-parti mulu. Kan gue gak ada temen buat ngomongin social issues, politics, lifestyle, apapun deh selain sauna dan kucing-kucing.”
Karena gak ada duit bikin majalah, dia memutuskan bikin blog.
Yes, a blog.
The first step is that small.
Kemudian bencong-bencong Jakarta mulai ngobrolin hal lain selain sauna.
Kemudian Ford Foundation tertarik mendanai sebuah webseries berdasarkan blognya.
Kemudian Hivos yang ingin membuat film pendek tentang seksualitas tentunya memilih dia. Siapa lagi sutradara muda Indonesia yang se-edgy dia. Sementara yang lain sedang bikin film horor dan komedi cinta based on some best selling books, he went his own way.
The next thing we know, he is going to Cannes. The second Indonesian film in competition since Tjoet Njak Dien. (PS: Short Film Corner dan Market sebenarnya bukan official selection Cannes. Anyone with money can get in. So don’t get your Cannes news from Indonesian Infotainment.)
Maybe the next news will be Marion Cotillard.
Dan semua dimulai dengan sebuah concern yang sangat kecil. Kecil tapi genuine.
“Gue malu deh ama lo,” kata gue yang lagi jual murah mode on. Gue menawarkan diri ke banyak produser bervisi duit yang gak peduli juga ama apa yang mau gue bikin. As if mereka satu-satunya jalan bikin film di Indonesia.
“Don’t compare yourself to others,” kata dia sambil bayarin Lontong Sayur Medan.
“I think I should start with my something small. Tapi gue gak punya concern sebesar itu sama apapun. Gak kayak elo.”
Politik… yang gue tahu cuma sebatas dari media. Dan media you knowlah ada yang punya.
LGBT… I am a rookie. And I am more interested in making universal films where LGBT is no longer a separated group. Kaya Demi Ucok, a lesbian is just part of everyday life. Gak ada yang usil nanyain.
Kami terdiam di pinggir jalan. Dia dengan rokoknya. Gue dengan my own thoughts, what is my something small?
“I think message lo yang paling kuat so far sih... resign club,” katanya di sela-sela hisapan rokoknya.
Ternyata dia dari tadi diam tuh juga mikirin my something small.
Gue tertegun.
Resign Club?
It has been there forever dan gue gak nyadar.
“Lo resign dan ngejar mimpi, I think it is inspiring. Banyak lho orang pengen resign tapi gak berani. You have a market there,” katanya kembali Cina.
Harus jadi duit bo!
Ternyata I do have my something small all this time. I just need a good bencong who is socially and politically aware untuk menyadarkan.
Marion Cotillard, you will be a very lucky actress to get directed by him.
So very true! Your Resign Club inspired me in the very first place, Atid.
BalasHapusKak, Resign Club dirimu inih orisinil banget. Seriusaaaa..
BalasHapus