"Kalau ada wanita lain yang bilang soni baik, belum tentu. Di mata Allah, Soni hanya benar-benar baik kalau dini yang mengatakannya." kata pak ustaz mengakhiri ceramah kawinan soniboni.
Air mata pun mengalir malu-malu dari sudut mataku _ pause bentar , Cek baby cek bulu mata masih aman _ baru gue lanjut menangis lagi. Hik hik huaaaa.
Teringat aku setahun yang lalu perselisihanku dengan soniboni di hadapan udang saus mentega di jalan cilaki. Soniboni yang baru dekat dengan diniboni gue jutekin.
"Pokoknya gue baru percaya kalau lo dah kawin ama dini," seru gue nyinyirita mengingat track record soniboni yang tanpa sengaja menggantung sejumlah korban wanita yang jatuh cinta sia-sia. I think dini deserves better than that.
Dan hari ini the boni's menikah... gue malah nangis-nangis bawang putih. Tidakkah aku bahagia? Jangan-jangan aku masih memendam cinta pada soniboni.
Karenanya, dari panggung kukirimkan sebuah lagu rayuan terakhir kepada soniboni di podium sana ... putuskanlah saja pacarmu.
Ternyata suara merduku gagal membuat soniboni meninggalkan istri barunya. Tapi gue belum pustus harapan. Gue naik podium, nyempil di antara pengantin, dan ikut nyalam-nyalam seolah-olah dini tak nyata. Gagal.
Akhirnya gue menyerah. Mungkin soniboni memang bukan untukku. Lebih baik aku mencari korban lain. First step : rebutan buket bunga.
Pyungggggggg...
Buket terlempar...
Buket sudah dalam radius tangkapan...
Aku bahagia...
Jariku menyentuhnya...
Jodoh sudah di depan mata...
Ternyata bukan jodoh. Atun yang sudah di depan mata.
Menyikut gue dan mengambil buket bungaku.
Gue gak terima!#?!
Atun gue terkam. Berusaha mengambil buket-ku... Jodohku...
Tapi jangan remehkan kekuatan desperate para thirty plus ... buketku melayang dibawa kabur atun.
Ya sudahlah. Mungkin si om ini memang lebih butuh. Kurelakan buketku.
Tapi ternyata adegan penerkaman diabadikan oleh Cina Coon dengan kameranya dan diedarkan secara ilegal di belakangku. Mengurangi pasar potensial calon suami yang ketakutan melihat gue menerkam atun demi sebuket bunga.
Monyet.
Rabu, 30 Juni 2010
Tiada Dina, Cina Pun Jadi
Hari ini Dina nikah. Aku nelangsa.
Bukan karena gue naksir Dina _ although I do think she is gorgeous (kalau lagi gulung-gulung kabel di panggung)_ tapi karena gak ada yang nemenin gue milih baju ke nikahan Dina.
Wedding is always a nightmare to me. Biasanya Dina will come to save me from a fashion disaster. Today, dia sibuk didandani . So I am left alone fighting this battle of satin vs cotton.
Tiba-tiba datang sms dari seorang anak terlantar, Cina Coon, yang terkatung-katung di bandung tak tahu hendak ke mana.
Tiada Dina , Cina pun jadi.
Bersama Cina, aku tamasya ke Rumah Mode.
"Nggak ada korset ya, Tit?" tanya Cina takut digebuk sambil melirik baju XL yang menyempit di bagian perut.
Monyet. I'll let him go this time. Daripada ntar malem gue dinyinyirin pengantin akibat kurang trendi.
Akhirnya terpilihlah sebuah dress agak longgar masa kini dilengkapi sabuk hitam penyamar lemak perut. Gue berangkat ke medan perang telat satu setengah jam yang ternyata masih saja dipenuhi mahkluk cakep se-Bandung Raya.
Untung perut besar sudah tertutupi sabuk hitam. Jadi gue bisa tampil pede menaiki podium, menyalami Dina yang hari ini tampak gorgeous walau tak sedang gulung-gulung kabel.
"They both are so small. I thought she will pick someone dark tall and handsome." kata Kathy yang jauh2 datang dari Singapur untuk ke kawinan dina dan dini (not them together, dini is on the next day).
Gue jadi baru menyadari betapa kecilnya erias, suami dina.
Then I did langsung naksir dina. Because she doesn't pick someone dark, tall, and handsome. Plus she looks gorgeous kalau lagi gulung-gulung kabel juga tentunya.
Great wedding, erias. You are one lucky little guy.
Have an even greater marriage. Amin.
Bukan karena gue naksir Dina _ although I do think she is gorgeous (kalau lagi gulung-gulung kabel di panggung)_ tapi karena gak ada yang nemenin gue milih baju ke nikahan Dina.
Wedding is always a nightmare to me. Biasanya Dina will come to save me from a fashion disaster. Today, dia sibuk didandani . So I am left alone fighting this battle of satin vs cotton.
Tiba-tiba datang sms dari seorang anak terlantar, Cina Coon, yang terkatung-katung di bandung tak tahu hendak ke mana.
Tiada Dina , Cina pun jadi.
Bersama Cina, aku tamasya ke Rumah Mode.
"Nggak ada korset ya, Tit?" tanya Cina takut digebuk sambil melirik baju XL yang menyempit di bagian perut.
Monyet. I'll let him go this time. Daripada ntar malem gue dinyinyirin pengantin akibat kurang trendi.
Akhirnya terpilihlah sebuah dress agak longgar masa kini dilengkapi sabuk hitam penyamar lemak perut. Gue berangkat ke medan perang telat satu setengah jam yang ternyata masih saja dipenuhi mahkluk cakep se-Bandung Raya.
Untung perut besar sudah tertutupi sabuk hitam. Jadi gue bisa tampil pede menaiki podium, menyalami Dina yang hari ini tampak gorgeous walau tak sedang gulung-gulung kabel.
"They both are so small. I thought she will pick someone dark tall and handsome." kata Kathy yang jauh2 datang dari Singapur untuk ke kawinan dina dan dini (not them together, dini is on the next day).
Gue jadi baru menyadari betapa kecilnya erias, suami dina.
Then I did langsung naksir dina. Because she doesn't pick someone dark, tall, and handsome. Plus she looks gorgeous kalau lagi gulung-gulung kabel juga tentunya.
Great wedding, erias. You are one lucky little guy.
Have an even greater marriage. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)