Dengan rahmat syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, telah sampailah kita ke saat yang berbahagia (walaupun ternyata sama saja seperti hari-hari lainnya)...
cin(T)a goes to UK.
Perjalanan agak panjang mencari tiket untuk memberangkatkan cin(T)a akhirnya berbuahkan hasil. Salah satu mantan pejabat papan atas ibu kota akhirnya tergerak hatinya untuk membantu ekspor beberapa produk unggulan Indonesia ke UK.
Komoditas yang diekspor adalah...
Budi Sasono, the DOP... fungsinya jadi kameramen biar kami punya footage video yang layak untuk disalurkan ke beberapa televisi.
Sunny Soon, mewakili actors department... sekaligus jadi tukang potret keliling memastikan kita punya foto yang layak untuk berita.
Ardanti Andiarti, the publicist... ngakunya sih mau bikin news feed untuk cin(T)a, tapi sepertinya ada agenda cinta yang lain.
Dina Dellyana, the musician... ceritanya sih mewakili homogenic, tapi kalo kita sampai kere kurang duit kayanya doi yang pertama laku dijual. hihihi.
Sammaria Simanjuntak, the director... buat dipajang di depan mengobati luka hati fans saira jihan yang gak ikutan ke london.
Sementara itu Dini Dellyini akan ditinggal di Indonesia buat jaga kandang, agar produk-produk ini bisa diekspor ke tempat lainnya di Indonesia dan mancanegara.
Belum berangkat, sudah ada larangan menonton film ini dari beberapa komunitas. Katanya film ini menghina Tuhan.
God, please...
kalau memang film ini menghina Dirimu, tolong jangan biarkan film ini ditayangkan.
tapi kalau Kau memperbolehkan ditayangkan, tolong undang beberapa ciptaan-Mu yang berdada bidang dan berkulit gelap dan bukan simanjuntak untuk nonton. hihiy=P
And if anything happens, please save me from your followers.
Galak-galak abisnya. serem=P
Jumat, 22 Mei 2009
Senin, 04 Mei 2009
May 4th 2009 : RESIGN CLUB 2nd anniversary
Dua tahun yang lalu gue resign karena pengen bikin film. Film yang beda. Film cin(T)a.
“Cinta lagi?”
“Gak kurang banyak apa yang bikin film cinta? “
“Gak salah lo milih judul?”
“Yang maen Desy Ratnasari ya?”
Berkali-kali gue menjelaskan kalau film gue bukan cinta biasa. Ini cintanya dengan T dalam kurung.
Cin(T)a.
Isinya tentang cinta segitiga antara Cina, Tuhan, dan Annisa.
“Oh... cinta beda agama?”
“Sequel Ayat-Ayat Cinta?”
“Yang jadi Tuhan siapa? Kayanya Alex Komang cocok tuh.”
“Mending judulnya Annisa Di Ranjang Cina, gimana?”
Nih judul gak bisa diganti, walaupun banyak yang wanti-wanti nih film bakalan merugi.
“Tenang aja! Duit mah pasti ngejar gue,” jawab gue dengan sombong-sombong cemas meladeni para pesimistis kapitalis.
“Duit tuh ibarat cewe cantik yang biasa dikejar-kejar. Dia cuma mau ngejar orang yang gak ngejar dia,” sabda ketua Babacan dalam salah satu khotbahnya.
Walaupun kadang ragu datang menyerang. Takutku bilang akankah gagal membayang. Apalagi setelah lima minggu, respons sponsor tak kunjung datang.
Whenever one door closes I hope one more open
Promise me that you’ll give faith a fighting chance
And if u get the choice to sit it out or dance
I hope you dance
Untungnya Ronan Keating kembali berdendang, mengajak gue untuk kembali bergoyang.
Cha cha cha... tu wa ga pat....
Dangdut tali kecapi...
biar gendut yang penting seksiii...
Kalau bukan karena uang, kenapa gue masih bergoyang?
A) Karena cape nonton film cinta yang bikin cinta terpolusi dan butuh revitalisasi lebih banyak dibanding Cikapundung.
B) Cape dehhh nyela-nyela film orang, gantian sekarang dicela-cela.
C) Karena gue sering mencintai manusia lebih daripada gue cinta Tuhan.
D) Tadinya mo bikin film hantu. Eh kok jadinya film Tuhan?
E) None of the above.
Dua tahun berlalu sejak gue belajar bergoyang. I used to have money, home, and a job with a name card, but I was always afraid of having no money, no home, no job, and no name card. Now I have no money, no job, no name card, and no fear!
And no one to dance with.
Ada yang berani menemani gue bergoyang? =P
No Simanjuntak, please.
“Cinta lagi?”
“Gak kurang banyak apa yang bikin film cinta? “
“Gak salah lo milih judul?”
“Yang maen Desy Ratnasari ya?”
Berkali-kali gue menjelaskan kalau film gue bukan cinta biasa. Ini cintanya dengan T dalam kurung.
Cin(T)a.
Isinya tentang cinta segitiga antara Cina, Tuhan, dan Annisa.
“Oh... cinta beda agama?”
“Sequel Ayat-Ayat Cinta?”
“Yang jadi Tuhan siapa? Kayanya Alex Komang cocok tuh.”
“Mending judulnya Annisa Di Ranjang Cina, gimana?”
Nih judul gak bisa diganti, walaupun banyak yang wanti-wanti nih film bakalan merugi.
“Tenang aja! Duit mah pasti ngejar gue,” jawab gue dengan sombong-sombong cemas meladeni para pesimistis kapitalis.
“Duit tuh ibarat cewe cantik yang biasa dikejar-kejar. Dia cuma mau ngejar orang yang gak ngejar dia,” sabda ketua Babacan dalam salah satu khotbahnya.
Walaupun kadang ragu datang menyerang. Takutku bilang akankah gagal membayang. Apalagi setelah lima minggu, respons sponsor tak kunjung datang.
Whenever one door closes I hope one more open
Promise me that you’ll give faith a fighting chance
And if u get the choice to sit it out or dance
I hope you dance
Untungnya Ronan Keating kembali berdendang, mengajak gue untuk kembali bergoyang.
Cha cha cha... tu wa ga pat....
Dangdut tali kecapi...
biar gendut yang penting seksiii...
Kalau bukan karena uang, kenapa gue masih bergoyang?
A) Karena cape nonton film cinta yang bikin cinta terpolusi dan butuh revitalisasi lebih banyak dibanding Cikapundung.
B) Cape dehhh nyela-nyela film orang, gantian sekarang dicela-cela.
C) Karena gue sering mencintai manusia lebih daripada gue cinta Tuhan.
D) Tadinya mo bikin film hantu. Eh kok jadinya film Tuhan?
E) None of the above.
Dua tahun berlalu sejak gue belajar bergoyang. I used to have money, home, and a job with a name card, but I was always afraid of having no money, no home, no job, and no name card. Now I have no money, no job, no name card, and no fear!
And no one to dance with.
Ada yang berani menemani gue bergoyang? =P
No Simanjuntak, please.
Sabtu, 02 Mei 2009
Agama : Manfaat dan Mudarat
Meminjam pemikiran seorang teman yang telah 41 tahun bergumul dangan Tuhannya dan masih seksi ajeee, akhirnya doi berkesimpulan agama ternyata gak semuanya mudarat, Bo. Ada juga manfaatnya. Setidaknya ada dua manfaat agama:
Yang satu memberi tempat kepada mereka yang terpinggirkan.
Di gereja doi, ada beberapa teman cacat mental yang sekolah bareng ama doi. Semakin dewasa,teman-teman ini semakin menghilang dari sekolah karena keterbatasan kemampuan mereka. Sementara di gereja, mereka masih bisa eksis dan masih nyanyi ajeee.
Setidaknya agama memberi kesempatan yang sama bagi semua orang, tanpa batas kemampuan otak, finansial, sosial, dan lain-lain. Agama memberi tempat buat mereka yang letih lesu dan berbeban berat.
Yang ke dua: agama sebenarnya lebih bermanfaat buat anak-anak... yang masih harus dicerewetin jauh-jauh dari api biar gak kebakar. Agama juga memberikan kesempatan minta baju baru dan makan-makan seru sekali setahun... pokoknya festive! Suasana yang paling bikin anak-anak senang dan menanti-nanti.
Semakin dewasa,kita gak butuh sekedar festive.Kita butuh cara beragama yang lebih advanced. Kita membutuhkan beragama bukan karena baju baru sekali setahun. Kita membutuhkan agama bukan karena kita takut dihukum. Kita membutuhkan agama bukan karena kita nggak bisa ngatur diri sendiri. Kita mulai belajar beragama gak lagi secara childish. (There is a difference between childish and child-like.)
Bayangkan jika semua orang masih beragama dengan cara yang anak2. Ada yang beda sedikit, marah. Ada yang gak sesuai dengan hatinya, ngamuk. Jika ditanya kenapa nangis, gak bisa menjelaskan... cuma bisa menjerit sambil mecah-mecahin barang. Kita menjadi monster-monster kecil yang bertindak berdasarkan keinginan hati sendiri. Mama, papa, dan kakak-kakak harus turut kebenaran gue.
Dari semua manfaat agama, sayangnya agama jugalah yang menciptakan monster-monster infantil ini.
Infantil. That’s a better word. Bukan childish. Maaf ya, anak-anak.
Yang satu memberi tempat kepada mereka yang terpinggirkan.
Di gereja doi, ada beberapa teman cacat mental yang sekolah bareng ama doi. Semakin dewasa,teman-teman ini semakin menghilang dari sekolah karena keterbatasan kemampuan mereka. Sementara di gereja, mereka masih bisa eksis dan masih nyanyi ajeee.
Setidaknya agama memberi kesempatan yang sama bagi semua orang, tanpa batas kemampuan otak, finansial, sosial, dan lain-lain. Agama memberi tempat buat mereka yang letih lesu dan berbeban berat.
Yang ke dua: agama sebenarnya lebih bermanfaat buat anak-anak... yang masih harus dicerewetin jauh-jauh dari api biar gak kebakar. Agama juga memberikan kesempatan minta baju baru dan makan-makan seru sekali setahun... pokoknya festive! Suasana yang paling bikin anak-anak senang dan menanti-nanti.
Semakin dewasa,kita gak butuh sekedar festive.Kita butuh cara beragama yang lebih advanced. Kita membutuhkan beragama bukan karena baju baru sekali setahun. Kita membutuhkan agama bukan karena kita takut dihukum. Kita membutuhkan agama bukan karena kita nggak bisa ngatur diri sendiri. Kita mulai belajar beragama gak lagi secara childish. (There is a difference between childish and child-like.)
Bayangkan jika semua orang masih beragama dengan cara yang anak2. Ada yang beda sedikit, marah. Ada yang gak sesuai dengan hatinya, ngamuk. Jika ditanya kenapa nangis, gak bisa menjelaskan... cuma bisa menjerit sambil mecah-mecahin barang. Kita menjadi monster-monster kecil yang bertindak berdasarkan keinginan hati sendiri. Mama, papa, dan kakak-kakak harus turut kebenaran gue.
Dari semua manfaat agama, sayangnya agama jugalah yang menciptakan monster-monster infantil ini.
Infantil. That’s a better word. Bukan childish. Maaf ya, anak-anak.
Bandung : Verona Van Java
Tralala trilili. Gue mau nonton Romeo Juliet. Ceritanya gak jauh beda ama film gue, cinta beda agama. Yang satu agamanya Viking, yang satu The Jak. Tuhan dan keluarga merestui hubungan mereka, tetapi sepak bola tidak.
Ternyata film ini dilarang beredar di Bandung. Kabarnya karena ada sebagian masyarakat yang menganggap film ini menghina masyarakat Sunda. Polisi takut film ini akan menimbulkan keresahan pada masyarakat bla bla bla.
Akhirnya Ucup, si sutradara, bikin private screening di Blitz dengan mengundang pihak-pihak yang merasa dihina, terutama komunitas Viking. Para wakil yang diundang menonton akhirnya datang. Bukan untuk menonton, tapi untuk ngegebukin sutradaranya.
Screening dibatalkan.
Sebagai orang Bandung, gue merasa malu. Ini adalah bukti kami tidak cukup dewasa menerima pendapat orang lain. Kami membiarkan minoritas radikal bersuara lantang dan menyetir keputusan di kota ini. Sementara mayoritas yang sebenarnya tidak radikal ternyata tidak cukup punya keberanian... atau kepedulian.
Di usianya yang sudah aki-aki, Bandung melewatkan satu lagi momen untuk tumbuh dewasa.
Ternyata film ini dilarang beredar di Bandung. Kabarnya karena ada sebagian masyarakat yang menganggap film ini menghina masyarakat Sunda. Polisi takut film ini akan menimbulkan keresahan pada masyarakat bla bla bla.
Akhirnya Ucup, si sutradara, bikin private screening di Blitz dengan mengundang pihak-pihak yang merasa dihina, terutama komunitas Viking. Para wakil yang diundang menonton akhirnya datang. Bukan untuk menonton, tapi untuk ngegebukin sutradaranya.
Screening dibatalkan.
Sebagai orang Bandung, gue merasa malu. Ini adalah bukti kami tidak cukup dewasa menerima pendapat orang lain. Kami membiarkan minoritas radikal bersuara lantang dan menyetir keputusan di kota ini. Sementara mayoritas yang sebenarnya tidak radikal ternyata tidak cukup punya keberanian... atau kepedulian.
Di usianya yang sudah aki-aki, Bandung melewatkan satu lagi momen untuk tumbuh dewasa.
Langganan:
Postingan (Atom)