Hard Rock Bali menjelang Millenium: my first clubbing.
Mereka meloncat -loncat di dance floor. Keren.
Gue ikut meloncat. Pengen ikutan keren.
Mereka menjauh. Keringatku nyemprot.
Gue tetap meloncat.
Bermodal satu gelas coca cola seharga 12 ribu, gue bisa meloncat sepanjang malam.
Jangan ditukar sekarang kupon minumnya, nanti saja kalau sudah lelah meloncat.
Dua jam kemudian aku mulai dahaga. Ayo kita tukar coca cola.
Lihat kanan kiri. Mereka sudah gak ada.
Oh ternyata mereka di atas sana. Hook up dengan si entah siapa dari Jakarta. Bukannya mereka udah punya pacar di Bandung?
Aku gak ikut bergabung. Lantai dua berarti memesan makanan sepiring dua ratus ribu. Lebih baik uangnya untuk beli coca cola besok. Masih ada 3 malam di Bali.
More loncat sampai jam 2.
Mereka lanjut entah ke mana. Mungkin kemana jamur berhembus, di situ mereka berada.
I was too kere to be high.
Singapur, 7 tahun kemudian. My last clubbing.
Kali ini gue lebih kaya. Sudah bekerja. Tidak perlu hanya beli coca cola. Tapi tetap saja belinya coca cola. Alcohol is way overrated.
Gue tidak lagi meloncat. Dance floor ini terlalu kaku. Terlalu jaim. Terlalu berusaha menjadi Amerika.
Aku goyang kanan kiri tanpa teman. Untung lampu redap redup. Gue tetap percaya diri tanpa bantuan kacamata hitam.
Bosan bergoyang, aku menepi. Melihat-lihat kamera seorang teman. Video sebuah pantat besar goyang kanan kiri.
It was hillarious.
Up until I know it was mine.
That was the reason I stop clubbing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar