Ketoprak Tobong sepi. Tidak ada penonton. Lakon Pamit Mati yang mereka lakukan di Kraton Jogja dengan harap-harap Orang Jawa peduli menyelamatkan ketoprak terakhir di Jogjakarta ini ternyata hanya berbuah headline Kompas.
Penonton tetap sepi.
Requiem untuk seni tradisional?
Atau tak mampu berlomba dengan zaman?
"Jangan lupa. Dari ketoprak Tobong inilah lahir cikal bakal para pelawak terkemuka seperti..." Si bapak pemilik ketoprak menyebutkan beberapa nama yang malang melintang di TV.
TV.
Mungkin ini sebabnya Tobong tak lagi dinikmati. Penontonnya nonton TV. Pemainnya masuk TV.
More money. More fame. More people.
Sepertinya gampang jadi bintang. Hanya dalam waktu beberapa bulan berkompetisi, sudah bisa menyandang gelar 'idola baru Indonesia'.
Seperti Ayu, pemenang kontes dangdut instan di televisi.
Beberapa bulan kemudian, sudah ada another 'Idola Baru Indonesia'.
Ke mana Ayu?
Dari sunatan ke kawinan. Dari 10 juta ke 3 juta. Dari 3 juta ke barisan istri ke dua.
Seperti alumni kontes instan lainnya. Akankah Ayu berakhir seperti mereka?
Knock on wood!
Tanpa manajemen. Tanpa strategi. Tanpa gizi. Tanpa pendidikan. Status keburu bintang, rejeki belum juga datang.
Berharap menjadi Inul Daratista. Tak cukup hanya mengetuk kayu.
"Para penonton, jangan marah kalau Ayu mau goyang... rada panas, rada seksi, maafkanlah..."
Tiba-tiba Inul Daratista muncul nimbrung nyanyi di belakang Ayu. Ayu menangis, merasa mimpinya yang tadinya menjauh setelah dicuekin TV yang melahirkannya kembali dekat. Sebentar lagi dikontrak Inul dan jadi penyanyi terkenal.
Habis ini tinggal jadi bintang iklan dan sinetron.
Di akhir acara, semua pengisi acara bergoyang. Ayu, Inul, dan ketoprak tobong.
"Terima kasih untuk Inul, Ayu... dan kawan-kawan," kata pembawa acara.
Dan Kawan-Kawan?
Requiem untuk seni tradisional.
Tak mampu berlomba dengan zaman.
Heil TV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar