36 / 200
Masih 90 something kilo sebelum sampai Bandung.
“Nanti di kilometer 70an berenti aja dulu. Tutup mata 10 menit. Nyetir malem, mata lebih capai,” saran papi.
Ah nyetir Bandung Jakarta doang. Udah biasa. Gak usah berhenti.
50/ 400
Mata mulai tak bisa memandang jauh. Lelah disinari lampu-lampu mobil berlawanan arah yang tidak mampu diredam pembatas jalan yang kurang tinggi. Lelah berusaha mencari garis kuning yang tertutup lumpur bekas hujan. Lelah menghindari batas tikungan yang tak disinari lampu jalan.
50/ 600
50/ 800
51
51/ 200
Anjing! Jalan tol ini gak bisa bikin pembatas tinggi tapi bisa bikin signage kilometer tiap 200 meter.
Gue mulai membayangkan seorang kontraktor berdasi dan anaknya yang pake Honda Jazz baru.
Fokus! Fokus! Masih 90 kilo.
Lampu mobil belakang mengedip-ngedip agar gue minggir ke lajur kiri. Terbayang bapak teman yang tersambar mobil kencang yang menyalip dari kiri, gue bertahan tetap di kanan.
Mobil belakang masih kedip-kedip, kesal dengan gue yang berjalan 90 km/ jam.
What the...? Kalau mau lebih cepat, salip aja dari kiri. Gue udah 10 km di atas speed limit. Lo kira ini autobahn?
Max 80. Min 60. Signage-signange cuma hiasan.
Jazz baru menyalip. Mungkin anak si kontraktor.
Km 72, gue berhenti.
Tutup mata 10 menit. Nyetir malem, mata lebih capai.
Ayo. 50 kilo lagi.
Mendekati Bandung, jalanan mulai menyepi. Bandung tidak menarik lagi di Minggu malam jam 11.
Mata mulai tersnyum.
Lalu hujan pun turun.
Sebuah tanda seru kuning mengintai di depan. Gue melambat.
Mobil di belakang mengklakson kencang. Gue panik. Pindah ke kiri tanpa lihat belakang.
Papi Mami masih tertidur yenyak.
Gue tetap di kiri. Puas dengan angka 70, the lowest point in my life.
As long as I get to keep the life.
Ayo sedikit lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar