Ada kesalahan-kesalahan masa remaja yang terus menghantui dan harus lo bayar mahal di kemudian hari.
"Yak senyum sedikit, kepalanya dimiringkan..."
Ckrek!
"Yak cantik!"
Kalau saja gue tahu gue akan menyesali hari ini, gue gak akan tersipu-sipu percaya ketika gue si fotografer bilang cantik.
Tapi hari itu gue masih lugu dan berrok biru. Masih mencari jati diri.
Gue tidak melawan ketika mami mendandani bibir ini dengan lipstick merah menyala yang nggak matching dalam rompi ungu. Untung dasi tweety ini masih merah juga.
"Tangannya di rompi , ya buka sedikit."
Ckrek!
Dengan latar belakang meteor-meteor ungu, fotoku menghiasi kalender 1997 limited edition karena hanya dicetak sekali.
Si Kalender 1997 menjadi pajangan ruang tamu kebanggaan papi.
Dan menjadi atraksi komedi yang memancing tawa setiap teman yang berkunjung.
Untung dasi tweety?
I shoulda known better.
1997, cepatlah berlalu.
Setahun kemudian, foto ungu tetap mejeng di ruang tamu tanpa peduli tahun. Papi terlanjur suka ama fotonya.
"Cantik kali nona keci papi."
Papi lahir tahun 1947 dan dibesarkan di zaman yang paling ganteng masih Rano Karno. Cantik baginya komedi bagi teman-temanku.
Haruskah kutanggung derita ini seumur hidupku?
Tidak. Aku tak rela kehilangan masa remaja hanya karena kesalahan ini.
Diam-diam aku naik ke dinding, hap!
Lalu ditangkap.
Hari berikutnya, papi kecarian foto ungu yang tak lagi menghiasi ruang tamu.
Hidupku kembali tenang.
Sudah sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali gue kucing-kucingan menyembunyikan foto ungu. Tapi hari itu akhirnya tiba.
Ruang tamu kembali dihiasi si foto ungu, terbingkai manis dengan frame 20 ribu dari kosambi.
Masih dengan rompi ungu dan dasi twweety.
Hwaaaa. Hari ini ada teman-temanku mau nginep dari Jakarta.
Ada kesalahan-kesalahan masa remaja yang terus menghantui dan harus lo bayar mahal di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar