Kenapa dangdut selalu identik dengan wanita dan kemiskinan?
Ada kok dangdut yang gak wanita dan gak kemiskinan.
Rhoma Irama?
Tapi coba lihat dangdut yang identik dengan kemiskinan. Dangdut yang dibayar lima puluh ribu sekali manggung. Dangdut yang butuh disawer baru nutup ongkos datang.
Tidakkah semua wajahnya wanita?
Kenapa?
Karena dangdut ini butuh disawer. Cuma disawer kalo udah joget. Yang punya duit nyawer ya lelaki. Yang disawer harus wanita.
Sudah serendah itukah arti wanita joget di mata kita? Cuma demi uang?
Bukankah kita emang bangsa yang festive? Joget is in our blood. Gak dikasih duit juga kita butuh joget.
Kita bangsa festive.
Festive?
Bahkan kata festive tidak terdengar seperti bangsa kita. Festive itu bangsa karnival di Rio de Jainero sana. Bukan kita.
Kita bukan bangsa festive.
Festival kita bukan di jalan-jalan dengan kostum warna-warni. Kita berjoget di antara tumpukan sampah, bersama ayam mencari bijih di tanah gak beraspal, lalat-lalat mengerubungi ati ampela dan es kelapa muda, dan anak-anak berebutan beli es berperwarna baju.
Yang warna warni hanya si penyanyi. Dan warna-warni itu butuh uang jahit, uang dandan, dan uang makan. Penonton yang berani joget ke panggung, harus berani nyawer.
Ada yang nyawer demi dekat penyanyi.
Ada yang nyawer dami mempertahankan derajat.
Ada yang nyawer demi mendapatkan derajat.
Si penyanyi gak peduli. Yang penting ada yang nyawer. Untuk tambahan bayar bensin motor Bandung - Lembang dan susu bayi yang ditinggal sama teteh sebelah.
Dangdut, wanita, dan kemiskinan.
Masih perlu bertanya kenapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar