Sebuah artikel tentang bagaimana sulitnya seorang Ariani Darmawan membuat film di negara tanpa industri film ini dipublish di Jakartabeat.net . Doi harus berjalan di antara kabut-kabut kepentingan pendana, selera pasar, dan ideologi norak produser.
Cara paling mudah adalah bikin film dengan produser yang sudah terbukti karyanya. Tapi kabut-kabut itu juga telah menutupi semua lapisan di atas sana, membuat filmmaker-filmmaker naif seperti Sammaria semakin sulit menentukan arah.
Sammaria baru saja meyelesaikan sebuah film dokumenter rame-rame bersama 2 tim sutradara lainnya. Karena temanya wanita dan kemiskinan, sutradaranya juga harus ikut berempati dengan hanya dibayar 15 juta (bagi dua ama Sali Anomsari). Dengan semangat ingin belajar, dan cukup puas dibayarin makan selama shooting, Sammaria dan Sali dengan bahagia menjalani shooting yang 8 bulan panjangnya dan editing yang 4 bulan panjangnya.
Setelah launching di Jiffest 2010, ke manakah Working Girls? Ternyata diputar di Kineforum yang biasanya menjadi perhentian akhir film-film lainnya. Inikah akhir dari Working Girls?
Sulit menjawab karena Sammaria cuma sutradara, bukan pemilik film. Pemilik sedang sibuk arisan.
Ternyata copyright penting ya?
Yasyuddd kita bikin film sendiri aja. Di atas sana terlalu berkabyuttt.
Bikin film ala cin(T)a aja. Ongkos produksi 100 juta, ditambah bla bla bla promosi lauching dan duit bolak balik eke ke Jakarta totalnya 230 juta.
Setelah pemberitaan hot tanpa disengaja berhubung tim promo cuma tiga mbak kenthir, dipotong 30 % dengan tega-teganya oleh pemerintah, sisanya bagi dua ama Blitz, dapatlah kami 200 juta.
Roadshow keliling Medan, Jogja, Surabaya, Salatiga plus jualan kaos ‘God is A Director’ yang kayanya laku banget, bertambahlah 30 juta.
Alhamdulilah BEP.
Dari distibutor DVD Jive, kami dapet uang muka 50 juta dengan janji royalti 7500 per DVD di kemudian hari. Lima puluh juta itulah yang dibagi-bagi oleh para kru yang gak dibayar di awal.
Sutradara+ produser+writer : 12.5 juta. Plus 7.5 juta hasil menang citra (bagi 2 ama Sali). Plus jalan-jalan ke Inggris, Australia, Thailand, Malaysia, Hawaii, dan Singapur.
Writer : 2.5 juta. Plus 7.5 juta hasil menang citra. Plus jalan-jalan ke Malaysia. Harusnya ke Singapur juga, tapi doi lebih milih penyuluhan KUA.
DoP + Produser: 22.5 juta. Plus jalan-jalan ke Inggris.
Executive produser: 12.5 juta. Plus copyright film.
This is all we got for 2 years of work.
Will we get more? Royalty dari Jive udah gak terlalu diharapkan. Tampaknya the 50 juta, that’s all we will ever see.
Distributor internasional? Cuma ditawar USD 2800. Jadi lebih baik kami simpan saja dulu. Kalik aja Sunny Soon tiba-tiba jadi the next Marilyn Monroe, kalo doi metong bisa naik tuh harga international distribution right kita=D
Kesimpulannya: bikin film yang cuma tayang di Blitz paling mahal budgetnya 200 jutaan kalau mau BEP.
Bisakah film 200 jutaan ini memberi bonus untuk editor, astrada, DoP, dan sound editor yang sekarang udah pada punya anak?
Nggak.
Gue harus punya uang setidaknya 700 juta. Setengahnya untuk biaya kru.
Harga ini tidak memberi gue the luxury of 60 crews dan premiere red carpet. Krunya masih 20 dan peredarannya masih sederhana. Tapi anak-anak kami bisa tumbuh bergizi dan sekolah dengan layak.
Bisakah film 700 juta balik modal di Blitz saja?
Nggak. Kita butuh layar lebih banyak.
Tapi kalau ke 21, harus nambah setidaknya 500 juta lagi untuk convert ke format 35 mm (satu-satunya format yang direstui 21 di zaman serba digital ini) Plus biaya promo agar film kita tidak lewat ketakutan diusir Arwah Jupe Depe di hari ke empat. Kalau gak laku, 4 hari udah diturunin.
Kalau laku, dipotong 30 % oleh pemerintah atas nama pajak dan kemajuan negeri. Lalu diambil setengahnya oleh pemilik bioskop. Tidak seperti Blitz, di 21 ada biaya tambahan biaya lain-lain seperti iklan koran sampai ongkos si Joni yang semuanya ditanggung filmmaker.
Sisanya kira-kira tinggal 6000 yang masuk ke filmmaker. Agar balik modal 1.5 M, harus ditonton 250 ribu orang.
250 ribu itu sudah dianggap box office akhir-akhir ini.
Kecuali nama lo something Riyadi, filmmaker yang masih cukup gila untuk tetap bikin film punya beberapa pilihan:
1. Bikin proposal funding ke festival sehingga biaya film tidak perlu dikembalikan.
2. Bikin skrip palsu untuk dikasih ke produser-produser hantu, tau-tau shootingnya beda cerita. (Sedia pistol sebelum pic lock ya.)
3. Nyari om-om dan tante kelebihan duit yang punya agenda lain-lain untuk difilmkan.
4. Mendesak pemerintah agar pajak 30% diperuntukkan bagi kemajuan film Indonesia, bukan untuk nonton tenis di Pulau Dewata.
5. www.cookafilm.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar