Kalau gigi copot, kubur dan berharap peri gigi bakal mengabulkan permintaan lo.
Cuma berlaku kalau muka lo masih imut dan gigi lo masih susu.
Not when you are 27.
Walau mukaku masih imut, I am way too old to wish the fairy teeth to restore my smile.
And way to young to be ompong.
No more coklat dan kripik batu!
Terpaksa gigiku dijaket. Pilih sejuta melayang atau Q n A cin(T)a di Singapura tanpa gigi depan.
Sebelum si jaket gigi selesai dicetak, seminggu ini gue harus mengatur schedule agar tidak perlu bertemu degan kecengan, mantan kecengan, dan calon-calon kecengan potensial.
Shooting gong xi fat cai bersama Sunny dan Daud? Bukan target pasar. So that's still on.
Bertemu dengan programmer festival film di Australia? She already saw the babi part of me (sleeping, snoring, hogging food). So me losing a teeth will not be the worst thing she see.
Proyek mak comblang? That's ok too. They are supposed to like each other, not me anyway.
Jenguk Inangtua Lis yang paralyzed total karena malpraktek anastesi? No excuse.
Untuk meminimalisir kemungkinan calon-calon potensial bertemu di luar dugaan, gue latihan senyum tanpa terlihat gigi.
Hahahahahhaha.
Gak bisa. Masih kelihatan.
Hihihihihihihi.
Ahhh... Gak boleh keliatan.
After 30 minutes hahahihi di depan kaca sendirian, gue mulai kehilangan kesabaran. Sebelum gue kehilangan kewarasan, lebih baik kita resmikan minggu ini minggu tanpa tertawa.
Gak perlu ketawa untuk jenguk Inangtua. Dia sudah tidak bisa bergerak tiga bulan terakhir ini. Tak bisa gerak, ngomong, apalagi ketawa.
"Hai Inangtua," kata gue tanpa tertawa.
Dan Inangtua tiba-tiba tertawa terkikik-kikik. Tanpa suara. Kikik pertama dalam tiga bulan terakhir hidupnya.
Ternyata tak butuh gigi untuk membuat seseorang bahagia.
Apa gigi depan gue gak usah dijaket aja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar