Sebuah gambar di belakang truk: seorang wanita berhidung miring yang seharusnya Manohara bersama tulisan Janda Kelantan, dengan setengah wajah tercoret merah.
Darah gue.
Kepala gue tertancap di bumper belakang yang sudah membengkok akibat ditabrak dengan kecepatan 120 km/jam di turunan.
Bibir gue tetap tersenyum, walau sudah tercampur karat. Darah mengalir ke dada.
Kursi belakang mendorong kursi depan, mendorong dagu, mendorong klakson.
Klakson mengiringi bunyi teriakan dan raungan sirene.
Atau di dasar Samudera Pasifik ditemani ikan-ikan bertulang transparan? Badan gue melayang di antara biru yang semakin biru, lama-lama hitam.
Atau meledak di udara di antara kumulus? Serpih-serpihan gue terjun pelan-pelan.
Satu mendarat di antara bunga-bunga. Satu dilindas angkot. Satu di sarang beo. Satu di bulu kucing. Dijilat, masuk ke lambung.
Atau termutilasi menjadi 16 bagian di tanah kosong belakang bekas pabrik?
No, I don’t see how I’ll end up there.
Atau di kamar mandi, terbaring dengan mata terbelalak dan kepala terbelah. Lantai yang tadi biru sekarang merah kekuning-kuningan.
Atau megap-megap di Danau Toba? Gue mencoba berteriak, tapi mereka hanya memandangi heran. Mungkin aku tak bersuara, karena paru-paru sudah dialiri air Danau Toba, mengambil tempat di mana oksigen seharusnya bekerja.
Atau di rumah sakit, sendirian dan kesepian berharap cucu-cucu datang? Atau berkhayal andaikan dulu punya cucu.
My death plays like movie scenes. Too much death in DVD's lately.
Mungkin gue akan menniggal sambil notnon film, sendirian, berpkir I have 300 something more DVD's to watch. Beli mulu. Nonton nggak.
Entah gue meninggal di awan, di laut, di danau, atau di sarang beo, it's only the end. It's the inbetween that matters.
Thank you for this inbetween. It's been quite something.
But I wouldn't mind a company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar