"200 ribu? Itu udah pake askes, mbak?" tanya si Ibu tua di samping gue pada petugas radiologi.
Anggukan si mbak membuat si Ibu tua terduduk, gak jadi daftar USG.
Gue melihat dompet gue, sisa 100 ribu setelah bayar radiologi tanpa askes seharga 303ribu. Kenapa kesehatan begitu mahal?
"Gue sih ogah ke rumah sakit. Kalau gue sakit, ntar gue tembak diri pake pistol aja," kata Ucu yang sedang membuat film dokumenter tentang kesehatan di Indonesia.
Narasumbernya yang datang ke rumah sakit mata ditakut-takuti kalau besok gak operasi, retinanya bisa copot. Abis operasi, doi malah buta.
Dan list panjang malpraktek bermotif uang lainnya yang akan menghiasi film dokumenter Ucu. Lebih murah pake pistol. Toh sama-sama metong.
Negara ini terlalu banyak kesesakan. Tak heran manusianya cuek dan cuma peduli diri sendiri. Gue nggak menyalahkan mereka yang melewati Bunderan HI dengan tatapan kosong. Padahal di samping mereka sedang berteriak-teriak kami yang memprotes tidak dijaminnya kebebasan beragama.
Gue pun kalau bukan karena diajakin Ucu mungkin akan memilih bergabung dengan mereka yang ngopi2 di sisi lain Bunderan HI. Ngapain sih aksi? Paling masuk headline sehari, besoknya orang udah lupa.
Tapi kesinisan gue semakin terkikis seiring bunyi kasidahan.
Tumbuh besar di gereja batak dengan paduan suara indah dan merdu, gue gak pernah suka kasidahan. Ribut. Sengau. Butuh lebih banyak latihan. Tapi kasidahan malam itu terdengar begitu mendamaikan.
"Perdamaian perdamaian..." kata sebaris ibu-ibu kasidahan berseragam lengkap diiringi bunyi air bunderan HI, dikelilingi lilin-lilin dan berbagai tulisan penolakan, pantat gue pun ikut bergoyang.
"Lilin ini untuk HKBP, Ahmadiyah, Kong Hu Cu,..." dan banyak nama lain yang dianggap tidak akan masuk surga oleh segelintir minoritas yang mengatasnamakan diri mayoritas.
Satu abad yang lalu Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pun dituduh kafir karena membuka sekolah kafir: pake meja, kursi, dan buku. Dia juga dituduh kafir karena berpakaian kaya kafir: pake sepatu.
Bayangkan kalau di abad depan kita difilmkan. Maukah kita dikenang sejarah sebagai ulama norak tukang marah-marah yang gak peka perubahan?
Ayo anak muda. Gak peka, gak gaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar