Coalition of Sexual and Bodily Rights In Moslem Societies (CSBR). Mereka bertemu di sebuah ruangan mewah di salah satu hotel kecil tapi berbintang.
Seorang pHd pelopor kelompok gay di nusantara.
Seorang feminis pelopor media perempuan.
Seorang dokter canggih yang seharusnya jadi mentri kesehatan.
Seorang waria yang belajar jadi sarjana hukum.
Dan peserta diskusi dari berbagai negara: Pakistan. Bangladesh. Sudan. Dan negara berpenduduk Muslim lainnya.
Friendly and sophisticated people. Where have they been? Kalau dunia isinya manusia-manusia tersenyum seperti mereka, mungkin kita tidak perlu batas negara.
Apakah mereka yang memang terlalu eksklusif atau gue yang terlalu gak gaul? Gue baru tahu kalau ibu-ibu berjilbab ada yang gak risih ikutan diskusi bersama LGBT. Bahkan ada yang sempat mendapatkan penghargaan dari salah satu petinggi Amerika karena pemikirannya yang dianggap progresif bagi perkembangan LGBT dalam Islam.
"Mbak, kalau anak Mbak ntar gay mbak masalah gak?" tanya gue pada mbak produser yang menjadi tiket gue memasuki koalisi ini.
"Ya masalah lah!"
Gue kaget. Temennya banci, buci, lesbi, homo, hetero gagal, homo bingung, aseksual. Adiknya sendiri lesbi. Film-filmnya LGBT friendly. Kalau orang seperti dia saja tidak mau anaknya jadi gay, apalagi mereka yang ada di luar ruangan kecil ini. Pantesan koalisi ini sangat eksklusif.
"Justru karena temen gue banyak yang gay. I know what kind of shit they are facing. No mothers would want their kids to face that," katanya.
Is gay really an option? Will they lead a happier life denying their feeling?
"Ya kalau emang anak gue gay, ya akan gue support juga akhirnya. Tapi kalau ditanya masalah atau nggak , gue tetep masalah." kata si mbak seksi yang ternyata udah jadi emak beranak dua.
Untunglah keluarganya sangat terbuka dan terkenal progresif. Tapi tetap saja si ayah diisukan menangis ketika tahu anaknya lesbi.
Bahkan seorang sutradara terkenal yang film-filmnya jelas-jelas gay ternyata gak bilang ke emaknya kalau dia gay.
"Apa itu gai gai di film kau? Kau gak gitu kan?"
"Ya nggak lah mak," katanya ketika si emak nelepon dari seberang.
Nggak usah jauh-jauh. Lelaki baik hati di sebelah gue juga ternyata gak bilang ke emaknya kalau dia gay.
"Kayanya mereka tahu sih, hanya gue gak bilang aja. Ada yang lebih penting," katanya karena mengingat nyokapnya yang sakit keras.
Itu baru awal. Minggu ini hidup gue dipenuhi dengan para gay dan banci. Diawali dengan CSBR dan diakhiri dengan opening Q Film Festival. Tampaknya minggu depan pun hidup gue masih dipenuhi Q.
Their 9th Q festival. My first one.
Gue terlihat berbaur di antara wanita macho lainnya yang beranting satu. Bukannya ingin teridentifikasi buci, kuping kiri gue infeksi.
"Lo lesbi gak?" tanya another sutradara wanita beranting satu. Walau beranting satu dan baru akan meluncurkan kumpulan cerpen bertema lesbi, doi mengaku hetero.
Hetero gagal. Pengennya sih lesbi, tapi ternyata doyannya kenti.
"So far sih nggak ya," kata gue sambil menceritakan hati gue yang ketinggalan di Sidney.
"Yah janganlah. Capek," kata si hetero gagal.
It's a very devastating life being gay in Indonesia.
"I love gay people. They look happy all time," kata salah satu hetero di layar pembukaan mengomentari Q.
Happy al the time? Really? All you guys who think that gay is a trend, think twice.
It's an emotion.
It's an art.
It's a very expensive art.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar