“Lo ama adek gue aja. Rumah kami ada dua di jalan Riau. Bisa lo jadiin kantor PH,” kata kakaknya setelah 5 menit kenalan dan ketahuan gue Simanjuntak.
Seru juga punya eda kaya doi. Kalaupun adeknya psycho, setidaknya gue bisa ngerumpi ama kakak ipar yang seru. Plus kantor gratis di Jalan Riau.
Makanya gue mau aja bertemu adiknya di salah satu restoran pancake favoritku. If the conversation was boring, at least the pancake was great. At least I have something sweet when he talked about himself and keep looking at his pager anytime I talk about myself.
OK. That’s it. No more doctors.
“Jangan gitulah kau. Kau coba dululah,” kata Chica balas dendam. Dulu gue menuding dia terlalu singa ama cowo-cowo yang dikenalin ama dia. Every rejections and every boring dates I have are moments of glory for Chica.
“Lo masuk NHKBP aja kalau mau nyari Batak,” kata salah seorang Batak murtad.
“Udah, mbak. Jadi ketua pula.”
Dan dia menghela nafas panjang. “Yah. Harusnya lo jadi sekretaris aja.”
Gue ikutan menghela nafas. Sudah sebegitu burukkah CV-ku? Masa sih nggak ada Batak keren yang pinter cari duit dan rela didominasi istri?
Ada sih. Hanya udah terlanjur diambil Mak Gondut.
Atau kuikuti saja jejaknya meninggalkan HKBP, gereja, dan suami pertamanya yang Batak? Now she live a wholistic life wth her 2nd husband yang tentunya bukan Batak.
Gue masih berharap ada keajaiban walau dia bilang hampaku takkan hilang sekejap oleh pacar impian.
Teringat salah satu kejadian di gereja ketika gue masih 24 dan percaya kalau jodoh bukan dicari, tapi dinanti.
Gue kabur ke WC. Pas balik, kursi gue sudah diduduki seorang Batak ganteng yang gue klaim sebagai jawaban doa-doaku. Jadilah kami berbagi buku ende.
Pulang gereja, aku langsung lapor ama pendeta biar gue dijodohin ama dia sebelum diambil wanita-wanita haus lelaki di gereja ini. Langsung batal pas tahu dia 34. Ketuaan.
Tapi ternyata dia juga gak mau ama gue. Alasannya: gue ketuaan.
What?
He lived happpily ever after with his 19 years old girlfriend.
“Sekaranglah kau kawin. Tambah lama tambah susah nanti nyarinya,” kata Mak Gondut yang ngakunya kapok ngejodohin karena udah tekor akibat usaha menjodohkan Chica melibatkan banyak strategi pura-pura ketemu di toko baju. Gue disuruh cari sendiri, tapi tetap saja beberapa SMS berdatangan.
Gak pernah gue jutekin. I really appreciated them taking the time to send an SMS to a stranger.
Giliran ada yang menarik, langsung berhenti SMS ketika dia tahu gue sutradara.
“Sutradara emang ada gilak-gilaknya,” kata salah satu mertua sepupu gue yang mengaku banyak stock ponakan ganteng. Nggak ngaku lagi begitu tahu gue sutradara.
Mami, Papi... Batak cuma ada 4 juta di dunia ini. Dari 4 juta, paling satu juta non parhuta-huta. Dikurangin yang Simanjuntak, bersistri, dan gay, tinggal berapa yang halal gue jadikan suami? Dikurangin yang nggak mau ama gue karena ketuaan atau ada gilak-gilaknya: ... tinggal mereka yang gak nyambung ama gue tapi tetep neleponin gue karena kejar deadline.
It’s really unfair. You let me out there and kiss all the sweet lips of these world. You let me learn that you needed no languange to connect to a person. When you connect, you just connect. You don’t speak each other languange and yet you speak about the most boring stuffs: the Eastern european politics and still you laugh throughout the whole date.
That’s conection.
And then you expect me to come back here and marry a Batak boy?
None of your Batak boy makes me laugh, Mami.
“Ama Jerman pun tak apa-apanya. Masih satu opung kita. Sama-sama turunan Nomennsen,” Opung Mak bersabda. Mak Gondut langsung merengut, walau agak mikir pas inget cucunya bakal laku maen sinetron.
But I have no German yang bisa gue jebak ngawinin gue and ngasih mami cucu. I am stucked here in Bandung with a population of no eligible Batak that I can connect to.
“Nanti ada Pangaribuan. Udah ada 4 orang yang nawarin ama Mami,” kata Mak Gondut belum menyerah.
Ok, Mami. Bring it on.
To Siantar to Sipirok Padang Panjang Ford de Kock, kankusosor ya kusosor kusosorrrr....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar