35 menit: total durasi film dokumenter pertama gue. Akhirnya Picture lock.
Riset 2 bulan. Shooting 7 bulan. Ngedit satu bulan. Ngaerjainnya paling lama, jadinya paling pendek dibandingkan 2 film lainnya.
Lima menit lagi dong, ah ah ah.
Jangan ah. Iramanya sudah enakeun. Berkat bantuan editor Aline, rough cut kami disulap menjadi cerita yang lebih berirama.
Otak fiksi kami membuat rough cut terlalu terpatok pada skenario awal: TV sang antagonis penyebar mimpi instan yang menyebabkan lingkaran setan kemiskinan.
Ternyata footage yang menunjang kurang. Bukan karena mereka tidak dibodohi TV, tapi karena mereka tak lagi nongkrongin TV setiap kami datang . Mereka lebih tertarik mengerubungi kami, their way of another 5 minutes of fame .
Tidak perlulah ditambah berbagai macam drama. Berbagai macam animasi centil. Berbagai macam kulit yang gue idamkan di awal pembuatan. Biar film ini centil apa adanya.
Lima menit lagi, ah ah ah.
Walau ada beberapa gambar goyang yang mengusik mata fiksiku. Gatel pengen nge-delete. Tapi informasi gambarnya terlalu penting. Haram dikorbankan.
Content di atas segala-galanya.
Dasar dokumenter.
Tak apa-apalah. Yang penting awalnya nendang. Endingnya nonjok.
“Riana mah Cuma pengen tetep dikenal ama penggemar,” kata Riana mengakhiri film, mengenang masa-masa kemenanganya di suatu acara kontes dangdut instan di televisi.
“Makanya mau pengen ikut kontes-kontes kaya di TV lagi biar orang gak lupa,” kata Riana.
Benarkah ini kata Riana? Bukan kata ayahnya, ibunya, atau mereka-mereka yang nebeng mimpi di pundak ABG ini?
Riana, 14 tahun, gak pernah diberi kesempatan untuk tahu mimpinya apa.
“Emang mimpi mbak Atid apa?” tanya Riana polos.
“Bikin film,” jawab gue.
Proyek ini adalah the Stardut of filmmaker, Riana. Gue ikut proyek ini cuma untuk ngedeketin Nia Dinata. Ternyata gue malah belajar lebih banyak dari kamu, sayang. Belajar tentang mimpi gue sendiri.
Thanks for the bittersweet story of yours. Kamu menyadarkan gue kalau fame and fortune bukan mimpi gue.
Somehow I feel your story will bring me my five minutes of fame.
If the time comes, please give me the strength to pass it on. Yeah, babe, pass it on.
The world of ‘lima menit lagi ah ah ah’ really gets us nowhere.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar