"Sadis!"
jawab salah seorang teman yang sudah malang melintang bikin berbagai behind the scene film ketika ditanya apa pendapatnya tentang shooting di Indonesia.
Sebulan penuh tanpa aktivitas lain selain shooting dan tidur dengan bayaran gak seberapa.
Adakah kata lain yang lebih tepat selain sadis?
Dia menggeleng. Kupingnya yang bolong 2 senti ikut goyang kanan kiri.
Terlambat 3 tahun untuk mundur dari dunia kelam perfilman Indonesia yang ternyata sadis ini. Aku sudah terlanjur resign.
Bisakah kita shooting tak sadis?
Teringat aku behind the scene seorang filmmaker Malaysia yang selalu shooting di sebuah kota yang jauh dari ibu kota. Semua kru terlihat bahagia. Membuat gue mengira theirs is the best job ever. Mungkinkah itu akting belaka?
Ngapain lo susah-susah ngabisin 2 tahun hidup lo bikin film yang cuma bikin lo berasa di neraka dan mati batal masuk surga? Paling yang dapat nama besar dan kebahagiaan cuma sutradara.
Karenanya, gue merevisi skrip demi ucok. Semua scene dan shot extravagan dan all those little darlings yang membuatku terlihat seperti sutradara hebat tapi nggak menunjang cerita terpaksa gue relakan.
Biar suatu saat nanti gue bisa hidup bikin film setahun satu, dan mati bahagia setelah 6 karya. I will be the happiest dead woman kalau udah bikin karya kaya dia.
Atau kalau diijinin, mati setelah 10 karya juga boleh.
Atau 20 deh.
Atau 30.
Atau 1 film?
Gak apa-apa. Cause it all amounts to nothing in the end.
ps:
Asal matinya ditemenin Jason Mraz. Huehehhehehe=D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar