Hi Sam.
Gw sudah baca. Hanya gw pikir ceritanya terlalu vulgar. Karena perlu diperhatikan juga bahwa nanti pembacanya adalah masyarakat awam. Mungkin usia sekolah sampai usia orangtua muda. Dan antologi itu nantinya diharapkan jadi buku yang bisa dibaca semua orang, bukan yang disegmentasi secara terbatas "khusus dewasa", yang membuat pembaca merasa risih, atau malah dibredel oleh ormas2 tertentu.
======
Berhubung gue tidak mengerti bagaimana menulis buku yang diharapkan bisa dibaca semua orang dan gak membuat pembaca merasa risih, cerita ini gue terbitkan di media di mana kejujuran emosi adalah satu-satunya pertimbangan dalam penerbitan: my own blog.
Enjoy.
======
T***t atau t***t?
That’s the question.
Semuanya gara-gara kelas menggambar telanjang. Cewe yang datang dari negara bermoral di mana seks tabu dibicarakan tapi boleh dilakukan_ asal gak ketahuan_ menjadikan kelas ini wajib diambil.
Sebenarnya ada di Jakarta. Tapi gue gak tahan ama temen-temen gue. Baru ngedenger kata t***t aja, mereka udah bergidik risih seakan gue satu-satunya cewe yang penasaran pengen lihat t***t gak hanya lewat layar laptop.
Muna!
Karenanya gue ke Amerika.
Bersembunyi di balik kejujuran seni, gue bisa lihat t***t orang tanpa resiko hilang keperawanan.
Kasihan Papi kalau gue sampai gak perawan. Dia nangis-nangis minta gue tetap perawan sebelum gue berangkat S1 ke Amerika. Baru sekali gue lihat Papi nangis.
Papi yang baik. Papi yang selalu mengabulkan semua permintaan. Papi yang gak pernah melarang. Bahkan ketika gue memilih sekolah seni di luar negeri daripada di Jakarta nemenin dia.
Tapi udah 5 minggu modelnya cewe melulu. Katanya lebih susah nyari model cowo. Tahu gini mending gue gambar diri, gak perlu patungan bayar model mahal-mahal.
Tinggal ngaca.
Mending badan gue ke mana-mana.
Memang paha gue masih agak kegedean, tapi tetap saja cowo-cowo astagfirallah tiap gue lewat pake hot pants. Tambah males tinggal di Jakarta.
Tapi hari itu akhirnya tiba.
Seorang cowo tak dikenal duduk di pojok kelas dengan bath robe putih. Agak tua. Empat puluhan. Tapi gak apa-apa karena torsonya menggiurkan. Bonus: ubannya bikin doi sedikit George Clooney.
Nyessss...
Atas nama seni, George Clooney membuka bath robe.
Aku malah tertunduk malu.
Aku pura-pura menatap sekelilingku, mencari sekutu salah tingkah. Semua siswa terlihat serius menggambar, gak keganggu dengan benda aneh yang bergelantungan di antara kedua kaki George Clooney yang berbaring ngangkang tanpa benang sehelai pun.
Eh, ada benang perak sehelai melingkar di paha dalam.
Oh, no. Itu bukan benang.
Mata gue beralih menjelajahi paha sampai ke pertemuan kedua kaki.
Lho? Kok Cuma 12 centi?
Vivid Interactive terbukti bersalah melebarkan jurang pemisah antara impian dan kenyataan.
Sudah kecil, menguncup pula kaya ujung pisang. Mana jamur-jamur yang menghiasi ujung t***t bintang Vivid?
Tanpa sadar, si dosen sudah meclok di samping, melambai gemas melihat gambarku yang sudah berkaki, bertangan, tapi tak ber-t***t.
“You are not Michaelangelo,” ujar si dosen banci sambil menunjuk jijay sebuah daun yang menggantikan tempat t***t seharusnya berada.
Dosen banci menarik nafas panjang dan siap menceramahi gue tentang seni dan keterbukaan pikiran ketika matanya menangkap kertas gambar di sebelah gue.
Sebuah t***t panjang berhelm jamur mendominasi kertas. Tanpa muka, tanpa tangan.
Dosen banci ganti sasaran. Si empunya gambar ngotot seni tidak harus realistis. Gambarnya terilhat lebih sehat. Lebih bebas kuman.
George Clooney tersinggung.
Si empunya gambar berbalik ngintip gambarku.
Mata kucingnya menyorot nakal. Eye liner hitam yang melingkari kedua matanya membuat hijau matanya lebih menyala. Matanya semakin dilarang semakin bersinar, sangat tidak cocok dengan rambut panjang lurus sempurna yang gak mungkin bebas catokan atau smoothing. Dia mungkin akan terlihat Avril Lavigne kalau saja rambutnya tidak dicat biru.
Dia mendekat.
Aku menutupi gambarku , malu. Tanpa permisi dia menggeser tanganku dan menempelkan gambarnya di atas gambarku.
“If we merge mine and yours, we can have a complete human being,” katanya tanpa merasa bersalah. Sikunya bertengger di bahuku.
Aku baru tahu mariyuana bisa tercium sangat lembut jika dicampur dengan keringatnya.
“I think my penis is way too big for your legs,” katanya sambil tertawa nakal, memancing komentar nakal dan tawa teman-teman lain.
Dosen banci menenangkan kelas, mengingatkan kalau waktu tinggal 10 menit lagi. Yang tidak selesai harus menggambar di luar jam kelas dan mencari model sendiri.
Sampai bel meraung, gambar gue masih berdaun.
Ini pertama kalinya gue gak nyelesaiin tugas. Gue, si straight A student, disamakan dengan si tukang ngeganja.
Dosen banci gak mau tahu. Salah sendiri. Gue tetep harus ngegambar di luar kelas.
Susah nyari model cowo. George Clooney terlanjur tersinggung dan kapok mempertontonkan t***t-nya yang kurang higienis.
“I’ll do it,” kata pacarku.
Gue menelan ludah menatap torso bidangnya. Masih disembunyikan kaos saja sudah menggoda minta dipeluk. Apalagi tanpa kaos.
Gue memang cewe beruntung. Punya cowo berdada bidang, berambut pirang, bermata biru, dan rela pacaran tanpa sex. Di mana lagi gue bisa dapet bule kaya dia?
“Don’t worry. I will stay far from you,” katanya berjanji.
Selama ini memang dia tetap membatasi diri agar gue tetap perawan. Untung masih ada oral.
Berdua saja di kamarnya, ngeliatin dia telanjang, gue percaya dia gak akan ngapa-ngapain gue. Tapi gue gak percaya gue.
Gue pengen ngapa-ngapain.
Mending gue gambar dari internet. Gak usah pake model asli. Lebih bebas godaan.
Tapi sore itu gue gak bisa nolak. Pas dia ngajakin ke kamarnya, gue kira dia cuma ngajakin make out seperti biasa. Ternyata dia udah mempersiapkan semua: kertas, easel, dan tentu saja modelnya.
Dia.
Terpaksa gue telepon orang lain untuk datang. Daripada gue dan pacar bertiga ama setan, lebih baik bertiga dia.
Ternyata lebih baik bertiga setan daripada harus berbagi view t***t pacar gue sama cewe lain. Apalagi yang seseksi dia.
Dia bersiul begitu handuk pacarku mencium lantai.
“Lucky girl,” katanya sambil mengerling nakal.
Setan!
Gue pura-pura gak denger, sibuk ngegambar. Biar cepat selesai. Biar dia cepat pulang. Biar setan bisa kembali menggoda aku dan dia.
Bukannya menggambar, ada-ada saja yang dia lakukan. Pertama kipas-kipas. Lalu dia melintas ruangan, memutar tombol pemanas.
Mata pacarku mengikuti tubuhnya. Tambah melotot melihat dia buka jaket, memamerkan t***t-nya yang membuat gue mengerti kenapa dia diisukan gak akan pernah mati tenggelam. Pasti ngapung.
Sebenarnya t***t-nya tidak terlalu besar. Tidak terlalu kecil.
Cukup.
Cukup membuat dosen banci lupa kalau dia cuma doyan laki.
Aku berhenti menggambar menyadari objek gambarku berubah bentuk.
“Sorry. It’s really cold here,” kata pacarku malu.
Dia tambah tertawa nakal. T***t-nya bergoncang-goncang kecil.
Setan!
Cowo emang goblok. Kok bisa horny liat t***t doang?
“Don’t worry. I’m not interested in boys,” katanya tanpa ditanya begitu kami bertemu di kelas gambar berikutnya.
Gue terdiam , gak jadi mengeluarkan jurus jambak rambut yang udah gue latih dari kemaren. Sengaja gue pake kupluk hari ini, rela gak pamer rambut hitam indah kebanggaan, biar gak gampang dijambak kalau sampai perang kucing.
“I am gay.”
Bukannya lesbi seharusnya berambut pendek dan berkemeja kotak-kotak?
Dia berhak tinggi dan bertank-top pamer t***t di tengah winter. Sama sekali gak kaya lesbi.
“You have a problem with lesbian?” tanyanya melihat gue terdiam.
Gue gak tahu mau jawab apa. Tentu saja masalah!
Kalau cowo suka ama cowo sih gue terserah. Kalau cewe suka ama cewe, kan serem. Kalik aja ntar gue dideketin. Jijay.
Tapi ngomong gitu gak politically correct di state gila tempat cewe dan cewe bisa nikah ini.
Untunglah Dosen Banci datang menyelamatkan. Gue jadi bisa pura-pura dengerin, gak perlu menjawab dia yang terlihat kesal dicuekin.
Rupanya dosen datang mengabarkan kelas hari ini dibatalkan. Model gak datang.
Adios.
Gue udah siap-siap mengumpulkan alat-alat gue ketika dia mengangkat tangan dan menawarkan diri menjadi model.
Dia melepaskan bajunya satu per satu tanpa malu-malu.
Warna kulitnya rata dari pantat sampai muka. Kulitnya bening, sampai gue bisa
melihat garis biru kehijauan di balik pahanya.
Gue gak jadi pulang.
Dia berdiri sambil menyandarkan tangan kanannya ke dinding. T***tnya tetap menjulang tanpa bantuan BH.
Kenapa dia bisa begitu tenang? Padahal semua mata menatap ke arahnya.
Dia nggak lihat gelimang bahagia di mata semua cowo, berdoa agar si model tak juga datang minggu depan. Kaki mereka duduk lebih rapat. Kertas mereka menutupi paha.
Gimana dia bisa nyadar kalau matanya terus mengawasi gue? Gue semakin salah tingkah. Semakin gue menunduk, semakin dia menatap penuh kemenangan.
Gambar gue gak selesai lagi.
Setan!
Dosen melihatku dengan kesal.
Masih dalam bath robe putihnya, dia menawarkan diri.
“I don’t mind another 15 minutes.”
Beberapa mata terlihat menyesal gambar mereka sudah selesai.
“You won’t do stuffs to me, right? You’re not gay, ” katanya sinis.
Gue kembali menggambar. Tinggal kami berdua. Gue punya 15 menit sebelum kelas berikutnya mulai.
Ternyata gue hanya butuh 3 menit untuk menyerah dan mengakui bibirnya terlalu menggoda.
Dia hanya butuh 10 detik untuk membuka baju gue.
Sepuluh menit untuk menyeret gue ke kamar gelap yang jarang dipakai sejak kamera digital turun harga.
Entah berapa menit, gue sudah berada di antara kedua t***t-nya.
Dan tiga jam kemudian, gue masih di sana.
Bercinta.
Bukan. Bukan bercinta. Gue masih bisa bilang ke Papi kalau gue masih perawan.
Gue hanya berbaring di sana, di antara kedua t***-nya yang lembut. Puas-puasin agar agar hari ini tidak perlu terulang lagi. Gue gak mau jadi lesbi.
Tapi tiap hari dia semakin membayangi.
Bibirnya di bibirku.
Bibirnya di t***t-ku.
Lembutnya.
Kenyalnya.
Gue gak mau jadi lesbi.
Gue mendekatkan bibirku ke bibir pacarku yang lagi mencuci piring. Sisik-sisik hasil gak cukur 3 hari di pipinya menggelitik pipi, dan menggelitik sesuatu di bawah sana.
Gue buka bajunya. Gue cium dadanya. Torso yang selalu gue puja. Torso yang seharusnya gue simpan sampai malam pertama. Inilah yang harus gue khayalkan, bukan t***t dia.
Papi, maaf. Aku terpaksa melanggar janji. Daripada aku jadi lesbi, nanti papi lebih nangis-nangis lagi.
Hari itu t***t-nya membuat gue berteriak Tuhan dan melupakan firman.
Lupa lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Ternyata aku suka t***t.
Puji Tuhan. Gue bukan lesbi.
Jadi hari ini gue bisa ketemu dia dan bilang dengan yakin kalau minggu lalu hanya coba-coba masa kuliah. Seperti cewe-cewe straight lainnya.
Gue akan bilang padanya sebaiknya kita temenan aja. Kalau dia nangis, gue akan pura-pura tegar dan meluk dia untuk terakhir kali.
Nyium dia untuk terakhir kali.
Ngerasain bibirnya di dada untuk terakhir kali.
T***t-nya di bibir gue.
Sekali lagi.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Ternyata gue suka t***t.
Damn.
Gue gak boleh suka t***t.
Apa enaknya jadi lesbi? Cuma gesek-gesek doang? T***t lebih enak. Dia lebih keras, lebih menembus, lebih jantan.
Tapi cewe lebih lama. Bisa sampai tiga jam.
Minggu berikutnya lima jam.
Tiga jam.
Nyesss...
Kalau t***t, paling 7 menit udahan. Kalau mujur, 12 menit. Paling banyak 5 kali semalam. Tujuh kali kalau pakai pil.
T***t atau t***t?
That’s the question.
Gak bisa gini terus. Gue bisa gila.
Karenanya, hari ini gue akan mencoba t***t dan t***t sekaligus. Biar gue tahu pasti yang mana yang gue suka.
Hidup cuma sekali. Jangan sampai salah pilih.
Pacarku gak mungkin keberatan. Cowo mana yang menolak ditawari have sex bertiga sama dua cewe? Apalagi cewe seperti dia. Gue aja tergila-gila, apalagi dia.
Memang dia tidak menolak, tapi matanya menatapku kecewa. Dia hanya menunduk tanpa mengangguk. Tidak ada binar birahi kesenangan yang gua harapkan darinya.
Dia juga menatapku sedih. Mata kucingnya seharusnya tidak menyiratkan luka. Ini bukan pertama kalinya dia threesome.
Tapi dibukanya juga jaketnya dengan pasrah. Dia memelukku perlahan dan mendekatkan bibirnya ke wajahku.
Bau mariyuana menghembus lembut bibir atasku.
Pacarku menunduk sakit melihat mataku terpejam menikmati bibirnya. Ciumannya pelan, lembut, dan... asin.
Aku membuka mata.
Air mata mengalir dari mata indahnya, membuatku ingin lebih memeluk dan membenamkan mata itu di dada.
Bibirnya di dadaku.
Bibir lain datang menghangatkan bibirku, menusuk-nusuk pipiku. Bau after shavenya membuat aku merasa kembali wanita.
Dia menyingkirkan kaosnya, melekatkan kulitnya ke kulitku. Kedua tangan kokohnya meremas pinggulku. Torsonya menghangatkan dadaku.
Aku didekap, dilindungi.
Sampai sebuah bibir lembut memisahkan aku dan dia. Bibir itu menyapu lembut wajahku, berhenti di mata. Aku terpejam, berharap waktu berhenti. Kelembutannya memabukkan.
Aku membenamkan wajahku di dadanya. Menyerah dalam kelembutannya.
Di bawah sana, kakiku dibuka paksa.
Ditaklukkan.
Kasar, sakit, tapi nikmat. Aku melenguh antara sakit dan bahagia.
T***t-nya di bibirku.
T***t-nya di antaraku.
Pada saat itu aku baru yakin dan yakin.
Ternyata aku lebih suka t***t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar