Realita Sunda Kelapa membuat sinetron kita terdengar lebih logis.
Si ibu bergigi nyengsol memandang surat bermaterai dengan curiga.
“Adegan yang diambil cuma adegan salaman, foto bersama, dan dangdutan di panggung,” kata gue berusaha meyakinkan.
Tentunya gue gak bilang...
Adegan salaman: kamera close up ke perut anaknya yang bunting 7 bulan pas kawinan.
Adegan foto bersama: si pengantin bilang suaminya ditangkap polisi.
Adegan dangdutan: si pengantin duduk di kursi tamu sendirian. Pelaminan kosong.
Mungkin si ibu takut karena keluarga si menantu preman toke ikan.
"Mereka gak akan nonton dokumenter ini, Bu. Ini bukan film komersil. Ini film dokumenter tentang bagaimana wanita menyiasati kemiskinan. Paling yang nonton mahasiswa."
Si ibu melemparkan keputusan ke si ayah. Kami mengarungi Sunda Kelapa, menuju pelelangan ikan yang sore-sore masih sepi tapi tetap bau bangkai beribu ikan mati.
Si ayah mencoba menulis tanggal. Kesulitan mengeja 11 November 2010.
Surat ditandatangan. Amplop berisi duit 500 ribu tak jadi gue pindahtangankan.
Sempat berpikir diberikan saja mengingat keluarga mereka sepertinya sedang menyiasati kemiskinan. Gak jadi ngeliat TV layar datar besar yang gak matching sama tuangan tak berkursi itu.
Anak mereka dinikahkan jadi istri kedua toke ikan/ bandar narkoba dengan harapan menunjang karir dangdut anaknya yang baru 18 tahun. Sudah jadi istri, suaminya malah masuk penjara. Keluar penjara, malah ngelarang dangdutan.
Hilanglah penghasilan keluarga.
"Kalau gak ingat dia mantu, udah mau ibu teluh."
Gak peduli si mantu turunan Banten. Gue juga turunan Bugis. Mau apa lo?
"Semoga sukses, Bu," kata gue basa-basi mengakhiri pertemuan. Menirukan gaya salah satu executive creative director yang pernah mewawancara gue. I didn't get the job.
Gue masuk mobil dan menghidupkan AC, mengusir jauh-jauh bau sengit Sunda Kelapa dari hidup gue. Dettol menghilangkan jejak-jejak kuman Sunda Kelapa dari tangan gua. Kembali ke dunia middle class gue di mana revolusi selalu dimulai mengatasnamakan mereka.
But the memory remains. Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta yang harus mendorong gerobak air sejauh 2 km untuk mandi? Bisakah gue bahagia tahu ada bagian Jakarta di mana semua anak di atas 2 tahun hapal lirik Keong Racun?
"Welcome to the real world," kata Ucu.
Selamat tinggal dunia di mana yang penting adalah IP dan kartu nama.
Sepertinya Ucu has no problem being happy, padahal dia udah ngeliat lebih banyak manusia. Tak hanya Sunda Kelapa.
All is vanity and striving after wind. What else can we do but being happy in this fiction we called reality?
Gue baru menyadari kenapa dangdut begitu merajai Sunda Kelapa. Karena hanya dangdut yang liriknya nestapa, tapi musiknya gembira.
Karena hanya dengan dangdut, mereka bisa menangis sambil tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar