Dulu gue gak mau tinggal di Bandung. Enakan Singapur.
Bisa pakai rok tiap hari, berkibar-kibar sepanjang jalan menuju MRT.
Gak perlu macet-macetan. Tinggal naik MRT dan mengkhayal sepanjang jalan. Tau-tau udah nyampe Tanjung Pagar.
Gak perlu takut pulang malam. Taksi siap menemani. Gak ada anak jalanan kelaparan menghadang.
Starbucks tiap hari gak bikin kantong terancam kelaparan.
Singapur, I love you.
Dan gue 'dipaksa' ke Bandung.
Nyetir tiap hari. Gak bisa pake rok. Anak kelaparan di tiap persimpangan. No more kopi impor.
Gue tersiksa sampai gue menyadari karismanya.
Ke mana-mana gak perlu jalan. Ada mobil siap digas.
Kopi gak perlu mahal. Dengan susasana citylight Bandung yang indah dari kejauhan.
Mijet tiap minggu. Disambung roti bakar. Meni pedi bentar. Krimbat. Facial.
Lari pagi di antara pepohonan tua yang menyuplai oksigen segar.
Tidur gak perlu pake AC.
Bandung, abdi bogoh.
Dan gue 'dipaksa' ke Jakarta.
Nyetir 5 jam per hari dengan kecepatan 12 km/jam.
Dilempar pengemis karena cuma ngasih gopek.
Gak bisa buka jendela karena asap knalpot metro mini.
Gak kuat jalan karena bau got.
Pendapatan kecil tapi harus punya 100 ribu sehari. bensin 50. makan 50. Itu pun kalau gak di mall.
Tiap hujan, takut pulang. Takut terjebak 6 jam di jalan.
Walau 6 hari seminggu gue di Jakarta, gue masih gak mau ngaku kalau gue tinggal di Jakarta.
Apa ini hanya sementara sampai gue akhirnya jatuh cinta pada Jakarta?
Jakarta dengan segala carut marutnya, sumber inspirasi setiap hari. Singapur dengan MRT tanpa grafitinya, tidak lagi membuat gue jatuh hati.
Aku ingin jatuh cinta tanpa dipaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar