Sebuah SMS di pagi hari : Visa UK sudah di-approved...
Tapi hanya untuk Sammaria dan Sunny. Tidak untuk Danti, M. Budi Sasono, dan Dina Dellyana.
“Lo berdua bukan Muslim sih,” tutur Budi Sasono bercanda. But everyone knows his joke is only a way to tell his truth without sounding vulnerable. Punya nama depan Mohamad di depan Budi Sasono memang bukan hal yang menguntungkan di dunia paranoid pasca 9/11.
“Kalau visa lo ditolak karena nama lo Mohamad, be proud of it,” jawab Sammaria berusaha tegar. Dalam hati ikutan gondok kalau sampai visa tiga temannya gak di-approved gara-gara segelintir bule paranoid.
Ternyata yang paranoid kita. Visa ketiganya udah di- approved juga. Hanya belum diberitakan lewat SMS aja. I blame it to technology. Maaf ya, bule2.. kita dah terlanjur paranoid ama kalian.
Sampai di London, kita pun disambut manusia-manusia paranoid lainya.
Oh My God, what have we done to each other? How come we get to be this bitter and paranoid?
Seorang bapak menyarankan gue untuk tidak menanyangkan film ini. Selidik punya selidik, setelah ngobrol panjang lebar, dia ternyata punya ketakutan film ini ada misi Kristenisasi melalui promosi perkawinan beda agama. Di daerah asalnya, ada isu bahwa banyak wanita Muslim yang dihamili dan kemudian dipaksa pindah agama jika ingin dinikahi. Makanya dia sangat mewanti-wanti wanita Muslim untuk tidak berpacaran dengan pria Kristen.
Tentunya teman-teman yang Kristen juga sudah sangat familiar dengan isu ini. Hanya saja subjeknya diganti pria Muslim dan objeknya wanita Kristen.
Si Bapak kaget. Doi meragukan kalau ada pria yang benar-benar Muslim akan tega melakukan hal itu.
Tentunya gue juga yakin gak ada pria yang benar-benar Muslim akan tega melakukan penyebaran Islam melalui penyebaran sperma. It’s just the fact kalau kedua isu ini sangat mirip dan hanya tinggal diganti subjek dan objeknya menunjukkan ada modus yang sama yang memecah belah bangsa ini dengan cara-cara yang tidak kreatif. Tentunya kita tidak akan begitu saja diadu domba kalau saja kita tahu dipadang rumput seberang cerita yang sama pun didesas desuskan.
Indonesia… Indonesia… sudah bertahun-tahun ditinggal kumpeni masih aja bisa diadu domba.
Makanya kita butuh dialog… karena tak kenal maka taakut.
Ada lagi bapak lain yang menyatakan takut bahwa film ini akan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang tidak benar.
Oh, My God, what have we done to our faith? Do we really believe in Your power? Do we really believe that You are so akbar and have all the power to this world? Why the hell… eh heaven… are we so afraid then?
People, I know there are so many dangers and bitterness in this world. I know that we are all weak and worried and troubled and tired. But please remember… God is great, be still.
The God that took care of you will also take care of your children. Pasti!
we're always afraid of things we don't know. makanya dialog dan eksposure terhadap perbedaan itu penting. saya nggak ngerti mengapa belakangan, di Indonesia yang katanya bhinneka tunggal ika ini malah semakin banyak sarana pendidikan bahkan perumahan yang dikhususkan untuk pemeluk salah satu agama aja. mengurangi eksposure terhadap perbedaan yang ada. padahal kita butuh berinteraksi dengan mereka yang berbeda untuk saling memahami dan mengerti.
BalasHapus