"Mending lo ga usah bikin film deh. Jualan karpet aja," kata salah satu publicist film berbudget M-M di Indonesia. Di minggu ke dua, angka penontonnya sudah mencapai 700 ribu.
Penuh percaya diri.
Tak disangka besoknya, film doi tinggal tayang di dua bioskop. Didepak sebuah film hantu dan kekerasan.
Ternyata pemilik bioskop merangkap pemilik sang film hantu dan kekerasan. Mending nayangin film sendiri karena untungnya 100%, gak usah bagi-bagi.
Kita butuh bioskop baru.
Melihat salah satu dari 2 bioskop di indonesia terancam bangkrut, apakah ada yang berani bikin bioskop?
Kalau begini terus, mati suri perfilman indonesia tak terhindari. Kalaupun ada yang bikin film bagus, akan kapok bikin lagi setelah 2 minggu diturunkan.
Kita butuh bioskop baru.
"Bioskop digital jawabannya!" kata dia menyebar dogma.
Serentak di 33 kota kecil. Gak usah di kota yang udah ada bioskop that who cannot be named.
Butuh 1 M untuk bikin 1 kota. Total 33 M.
Mari cari orang gila yang mau invest 33 M.
Hmmm... kalau species gila yang mau gambling 1M lebih banyak ditemukan. Kita bikin franchize bioskop kaya Mc D. Konsep, equipment, dan promo urusan kita . Owner di tiap kota tingal nge-run dan menikmati uang.
Atau menikmati kerugian.
How about that?
Segitu pentingkah bikin film di negara yang rakyatnya banyak yang kerja pagi malam hanya digaji 30 ribu? Apa mending 33 M kita bikin untuk makan aja?
Kita nggak butuh makan. Kita butuh harapan.
Kita butuh film yang memberi harapan.
Boooo... harapan sih lo sebar pake lagu dangdut aja deh. Gak usah bikin film. Murah meriah mantap.
Kayak ada aja yang mau nonton film. Sebanyak-banyaknya penonton paling 4 juta. Penduduk lo ada 220 juta, jeng. Yang 216 juta kaga pada nonton tuh film lo.
Pada dengernya Keong Racyunnnn.
Gue gak bisa nyanyi dangdut=C
Kalau gitu kita bikin film dangdut aja???
Terserah lo dehhhhh. Dasar anak muda idealis. Kita liat aja ntar lo tua Akbar Tanjung apa nggak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar