Jakarta di kala hujan. More macet-macetan. More time memandang hujan. More time curhat-curhatan.
Jakarta di kala hujan telah menjadi ajang bongkar muatan hati beberapa manusia yang terjebak berdua di mobil hitamku.
Seorang istri yang hampir diceraikan suami karena digosipin threesome lesbian.
Seorang feminis yang menolak menikah.
Seorang hetero gagal yang ditinggal berondongnya.
Episode hari ini: seorang homo patah hati. Sahabat gue sendiri.
Gue baru sadar. Ternyata gue buta. Semua bukti sudah mengarahkan kalau dia homo tapi gue gak pernah percaya.
"Kan orang-orang udah bilang ama lo. Kenapa lo harus nanya lagi?" jawab dia lemah setelah dua kali gue menanyakan dia homo atau nggak.
Orang-orang yang bilang lo homo menganggap semua orang homo. Bahkan Bung Hatta dan Tan Malaka pun homo.
"Gue pernah tinggal dua tahun di apartemen dia."
Gue baru sadar ternyata gue buta dan tuli.
"Itil! Dia bilang dia top. Top my ass. Gue ewe juga dia ngelenguh keenakan."
I always thought that he is a little boy who knows nothing about the world. He had me at ewe: I am the little boy who knows nothing about the world.
He asks me to Adam Lambert concert and I still think he's straight. Bahkan orang buta tuli pun akan sadar dia gay. I guess I am not a very good observer after all.
"Gue gak bisa ngaceng ama cewe. Udah gue tepuk-tepuk gak bisa," katanya.
"Even ama dia?" kata gue menunjuk seorang cewe berbibir seksi di layar HP-nya.
Dia menggeleng, mengakhiri semua hipotesis gue kalau kita semua basically bisexual. Gue memulai hipotesis baru. Mungkinkah ini akibat nurture, not nature?
"Gue udah tahu gue gay sejak gue umur 7 tahun," katanya disambung cerita tentang pegawai toko mamanya. Mamanya menyuruh dia menggendong anaknya ke lantai dua.
Lelaki berdada bidang, berkeringat, dan bertelanjang dada.
Right in his arm, he knew he was gay.
Damn. I woulda been gay myself.
"Kok lo gak pernah bilang ama gue?" kata gue sedih. Terbayang hari-hari dia menghadapi patah hati sendirian. I might not be a good observer, but I can try to be a good listener.
Senyum tidak lagi menghiasi wajahnya. Dia gak masalah kalau orang-orang tahu. Dia mau aja disuruh jalan-jalan parade pake spandex gay pride. Tapi banci-banci ini mulutnya kejam. Dia nggak pengen emaknya sampai tahu.
Mama gak akan marah. Mama gak akan menghujat. Gak akan mengutuki.
Tapi mama akan sedih.
And he cannot stand a life making his mom sad. It's his Dad's part, not his.
"Lo gak usah jadi gay deh. Gak enak banget di Indonesia."
You are the second one telling me never to be gay. The other one is a UK citizen. Not Indonesian. Tetep aja nggak enak.
Mama-mama di mana pun kalian berada, your children have a heart. And they beat
faster when another heart gets closer to them.
Can you tell their heart to beat faster to someone else?
Bilang sama dia, dia ga sendiri.
BalasHapusDan akan selalu ada orang yang menerima dia apa adanya, termasuk gue. Biarpun gue pernah naksir sama dia. :-)