Kamis, 23 Juni 2016

Jam Kayu

Dua bulan yang lalu, gue membeli jam kayu di pameran.

"Hari Senin kita kirim dari Jogja, Mbak. Ini soalnya buat contoh."

"Tali jamnya jangan yang inj ya, Mas. Jelek."

Hari Senin tidak ada kabar.

Hari Rabu gue bertanya.

"Maunya jamnya yang ini atau ini?" whatsappnya dengan dua gambar  jam tak bertali.

Ternyata belum dikerjakan.

Bulan depannya, gue bertanya lagi.

"Minggu depan kita kirim ya, Mbak."

Minggu depannya gue bertanya lagi, "Mas, saya mau ke Jogja. Apa saya ambil langsung aja?"

"Iya Mbak ambil langsung aja."

Pergilah gue bersama Gojek.

Talinya belum bener.

"Nanti saya anter ke sekolah aja, Mbak."

Lalu...

"Nanti saya anternya sorean ya, Mbak."

Lalu...

"Nanti saya anter ke hotel aja ya, Mbak."

Lalu...

"Mbak, saya sudah di lobby."

Talinya belum bagus.

Ya sudahlah.

Selasa, 21 Juni 2016

Generasi Menunduk

"Film ini tentang tidak percaya diri. Diceritakan lewat seorang generasi menunduk yang selalu melihat HP dan pengen ganti HP setiap sekitarnya upgrade HP dengan mengorbankan apapun. Genre-nya komedi apokaliptik," kata sutradara kelompok bimbingan gue setelah gue kompori perlahan-lahan gimana caranya membuat konsep visual film ini lebih wah.

Seluruh penduduk bumi menunduk, bahkan ketika berjalan. Si penjual HP digambarkan sebagai preman berbaju pendeta, di tangannya ada keselamatan dan kebinasaan. Dengan HP dagangannya, karakter utama akan bebas dari rasa tidak percaya diri.

"Apokaliptik artinya apa, Mbak?" tanya sutradara.

"Ya kaya film-film distopia yang kamu suka. Kayak the end of the time, kiamat, pokoknya dunia ini udah mau selesai."

Dia mengangguk-ngangguk berusaha terlihat ngerti.

Gue pulang dengan puas setelah menugasi mereka melengkapi cast, lokasi, dan props sepanjang weekend.

H-1, cast belum ada, lokasi belum locked.

"Foto lokasi counter HP-nya mana?"

"Kemaren tutup, Mbak."

"Hari ini buka?"

"Nggak tahu, Mbak."

"Jadi besok kita shooting gimana?"

"Ya besok bisa kok kayanya, Mbak."

Daripada besok gue murka dan apocalypse beneran, komedi ajalah.

New Orange Is The New Black

Akhirnya Orange season baru keluar juga. Katanya season ini season paling dark, paling lucu, dan paling keren karena bisa menceritakan the dynamics of power dan white supremacy yang terjadi di Amerika lewat mbak-mbak penghuni Litchfield.

Yang gue tonton duluan kisah cintanya Piper dan Alex.

Diulang lagi.

Pengen ngulang lagi, content udah diblock Lionsgate.

Dibayang-bayangkan ajalah.

Apa kabar dynamics of power and white supremacy?

Senin, 20 Juni 2016

Seni

Melihat lukisan itu seperti dituntun melihat keindahan, keresahan, dan ke-an lain yang seringkali berserakan di sekitar kita tapi tak lagi kita lihat karena penglihatan terlalu berisik. Karenanya, hari ini gue bela-belain ke sebuah pameran walaupun konon dibayari penjajah.

"Kalau mau beli tiket, harus pakai e-money. Tambah 10.000," kata yang jaga tiket.

Ini pameran atau jualan e-money?

Tapi tetap gue beli.

Di dalam, Millenials silih berganti berfoto di depan karya dengan gaya paling instagramable. Karya apapun, tanpa berminat baca siapa yang bikin atau kenapa dibikin.

Gue memutuskan keluar sebentar, minum Nestle dalam segelas pelastik untuk mengumpulkan mental agar bisa kembali mencuri hikmat dari karya-karya yang ada walau dikelilingi instagrammers.

I'm ready.

"Mbak, kalau mau masuk lagi harus beli tiket lagi."

Pulang.

Sabtu, 18 Juni 2016

Tips Hidup Murah

"Mau mesan minumannya?" tanya si Mbak Pelayan ramah. Terlalu ramah.

"Nanti aja," jawab gue merasa terintimidasi. Takut ketahuan gak mau mesan minuman.

Sekarang gue selalu bawa botol minuman ke mana-mana. Selain karena gak tahan lihat sampah plastik, ogah bayar lebih juga.

Akhirnya gue malah pesan sandwich satu lagi ditambah dessert. Baru dimakan sedikit, sudah minta dibungkus  karena terlalu kenyang.

Walaupun sampai akhir gue gak mesan minum, gue tetap bayar lebih dan nambah sampah buat bungkus makanan pulang. Semua karena insecurity gue gak mau disangka cheapo sama si mbak-mbak pelayan.

Insecurity costs a lot.

Kamis, 16 Juni 2016

Tobat

Lasagna, cheese cake, dan latte. Saat adzan berkumandang masih duduk manis di meja, menanti gue habiskan.

Hap. Hap. Hap.

Lasagna, cheese cake, dan latte. Enam jam kemudian sudah berserakan di lantai kamar mandi, bersatu menjadi bubur-bubur kekuningan dengan ijo di sana sini. Bau kejunya sudah bercampur asam yang membuat ingin memuntahkan lebih banyak isi perut yang sudah terlanjur kosong.

Maag, jantung, atau kebanyakan makan?

Ingat hari ini.


Rabu, 15 Juni 2016

Sebelum 98

Sebelum 98, mahasiswa jenis aktivis itu paling  heits di kampus. Tujuan mereka hanya dua, menjatuhkan Soeharto dan nyari cewe.  Kalau tulisannya masuk di koran nasional, currency percewean nambah.

Gue mendengarkan cerita mereka dengan takjub. Tentang strategi mahasiswa melawan tentara yang sudah seperti cerita perang jaman Romawi lengkap dengan kode bendera dan legion-nya. Cerita tentang kondom yang berserakan setelah hari-hari pendudukan gedung MPR. Cerita tentang dewa-dewa mahasiswa ber-IP kecil tapi khatam Habermas.

"Masa lo gak pernah denger cerita ini?" katanya takjub melihat gue takjub.

Nggak pernah.

Angkatan gue semua digembosi untuk jadi enterpreneur. Aktivis gondrong-gondrong merdeka bukan lagi pujaan wanita. Yang penting kuliah bener, lulus cepat, kerja di perusahaan multinasional, lalu jadi enterpreneur bikin lapangan kerja baru. Gak perlu tahu bagaimana caranya membuat bom molotov, gak peduli di Senayan lagi ngapain.

Padahal gue kuliah cuma 3 tahun setelah 1998. Dalam 3 tahun, gue tidak lagi tahu rasanya berjuang rame-rame.

Mungkin karena gue di ITB juga. ITB pernah diduduki tentara berkali-kali jaman 70an dan 80an.  Jangankan angkatan gue, angkatan yang melewati 98 pun mungkin sudah sibuk jadi enterpreneur.

Tapi setelah 98, ITB mulai dimasuki politik. Hanya saja gue tetap tidak ngeh karena gue tidak pernah main ke sana. Sampai satu per satu celana mereka mulai naik melebihi mata kaki dan tidak lagi pulang ke rumah.

Sementara gue mengerjakan TA.

Selasa, 14 Juni 2016

Baby Pose

Tubuh kita bisa menyembuhkan diri sendiri. Dengan mengatur makanan, minuman, dan olah tubuh.

Untuk sakit ekor belakang, paling gampang dengan child pose. Duduk bersujud dan perlahan-lahan julurkan kedua tangan ke depan. Jari jemari merayapi kasur, berusaha menjauhi lutut sambil menarik sulur-sulur ekor.

Atau bisa juga dengan berbaring sambil mengangkat kedua kaki tegak 90 derajat sampai terasa ekor-ekor meregang.

Kurangi menunduk, terutama gara-gara kebanyakan maen HP atau laptop. Dagu selalu angkat ke atas ketika sempat. Gapapa dibilang sombong asal tulang ekor sehat.

Atau untuk mereka yang beruntung punya pacar berdada empuk, bisa dengan baby pose. Miringkan kepala dan tempelkan telinga dan pipi di dada pacar paling sedikit tiga menit. Semua encok, nestapa,  dan semua masalah hidup akan menghilang.

Home.

Suatu Siang Di Mersi Mami

"Mami di mana? Kalau masih sibuk, Atid naik Uber aja," we-a gue menjelang siang.

"Udah dekat."

Yang artinya baru mau berangkat.

Tapi ternyata tak lama kemudian Mersi Mak Gondut sudah parkir di depan rumah, menunggu siap mengantarkan gue ke travel. Jarang-jarang Mak begini. Mungkin karena kemaren gue baru terkapar kesakitan.

"Kitalah paling enak di dunia ini ya, Tid. Supirnya artis," kata Papi sambil mendelik bulus ke gue.

"Bukan karena artis. Karena Mersi. Abang udah rasakan kan enaknya naek Mersi, di mana-mana dikasih tempat parkir?"  sabda Mak Gondut yang tentunya diakhiri dengan khotbah betapa sebaiknya bensin Mersi ini Papi yang bayar. Padahal di saat beli dulu, Mak Gondut sudah berjanji Papi gak perlu ngisiin bensin.

Di akhir khotbah, gue sudah sampai di travel. Mersi Mak gak dapat parkir, terpaksa nyelip di pinggir jalan bersama tukang batagor dan teh botol.

"Hati-hati ya Dek...," kata Mak dari balik kemudi dengan foreground senyum bulus Papi di kursi penumpang.

Gue melambai lebih lama, melihat Mak selesai nyari receh buat Abang Parkir dadakan yang tetap menagih duit walau Mak cuma berhenti sebentar, sampai Mersi itu menyetir menjauh dengan rusuh.

There are some random moments in life, that you will remember as long as you can, cause in that moment you know you are loved.

This is one of them.

Toleransi

Di sebuah workshop film untuk anak SMA, segerombolan cowo-cowo SMA katolik berambut gondrong dengan keinginan mengubah dunia duduk di sana.

"Apa satu hal yang bisa membuat dunia lebih baik?"

Jika semua orang membuat film yang menyebarkan toleransi.

"Apa krisis terbesar yang dihadapi dunia saat ini?"

LGBT.

Gue duduk di sini dengan murid gue yang hanya tersisa satu, sementara kelompok lain delapan. Bersyukur.

Jawaban dia integritas.

Minggu, 12 Juni 2016

Terkapar

Sudah setengah jam gue terkapar gak bisa bergerak di lantai ini. Percuma berteriak. Kamar ini di lantai 3, jauh dari telinga-telinga lain.

Cuma gara-gara ngebungkuk mau ngambil softex di kotak yang berfungsi ganda jadi bangku, tiba-tiba pinggang ini diserang nyeri tak tertahankan disusul pandangan menghitam. Untung gue masih cukup sadar untuk merebahkan diri ke lantai dan gak membiarkan tubuh ini gedebug bebas ke lantai yang mungkin akan mencederai lebih dari ekor.

"Non?" tiba-tiba suara Mas Yusuf mendekat dari bawah tangga.

"Mas! Jangan naik ke sini."

Gue gak pakai celana. Malu banget terlihat terkapar tak berdaya hanya pakai celana dalam.

"Disuruh Ibu mundurin mobil," katanya, tidak lagi mendekat.

"Bilang Mami kata Atid tolong naik ke atas."

Suara iya mengiringi langkah kaki menjauh.

Tentunya Mak Gondut gak datang-datang. Mungkin sanggulnya belum selesai disasak.

Teringat seorang dosen yang tinggal sendiri dan ditemukan meringkuk kesakitan di kamar setelah beberapa hari gak muncul di kampus, gue langsung berusaha menggerakkan diri.

Tetap gak bisa.

Gue nangis-nangis. Gue gak mau ditemukan mati pake celana dalam doang.

Gue kembali merayap dan berhasil menggapai rok yang terjulur di sofa. Memakainya butuh beberapa jeritan setiap ada gerakan ekor.  Tapi gue tahankan biar ketika Mak Gondut akhirnya datang, gue terkapar dengan pakaian lengkap.

"Ini karena kau kegendutan ini!" kata Mak Gondut tak peka anaknya sedang meregang ekor di lantai.

Tapi mungkin Mak ada benarnya.

Jadi ingatlah hari ini. Pilihannya cuma dua. Tobat dan mulai sayangi badanmu! Atau setiap saat setiap waktu berpakaian lengkap!

Karena kita gak tau kapan maut dan Mak Gondut menjemput.

Jumat, 10 Juni 2016

Cikus Cirani

“Capi baru tes darah. Hasilnya B,” kata si Capi.

“Kalau Capi kerja lebih keras, pasti hasilnya A,” kata si Cikus.

“Untunglah kau cantik, Cikus,” kata si Capi.

Si Cikus langsung merica si Capi kanan kiri atas bawah.

“Emang Cikus bodo ya?”

“Kalau kau bodo, gak akan kau rica aku,” kata si Capi.

“Coba rangkumlah dulu bacaan cara diet ketofatosis itu.  Banyak kali. Tiap mulai baca, Cikus ketiduran.”

Si Capi mulai membaca. 


Si Cikus tidur.

Rumah Perawan

“Katanya kalau kau gak kawin, kau bisa tinggal di sini terus,” kata Mak Gondut baru pulang dari kawinan.

Ini pertama kalinya Mak Gondut bahagia menyadari gue gak akan kawin.  Dia baru saja ketemu anak temannya yang masih tinggal di rumah PB walaupun orang tuanya udah meninggal. Ternyata ada peraturan selama anaknya belum kawin masih boleh tinggal di sana.

“Peraturannya mana?” tanya gue was was bercampur excited. Waswas karena bisa jadi ini peraturan jadi-jadian yang seringkali difaktakan oleh Mak Gondut karena mendukung keinginan hatinya. Bisa jadi juga ini blessing in disguise karena sebanyak apa pun duit gue, gak akan lagi dapet rumah di daerah berpohon yang dilewati berbagai jenis tupai dan angkot.

Tapi kan ini rumah milik negara.

“Bukan milik negara. Ini punya Belanda. jadi kalau diambil negara, paling jadi punya pejabat juga,” kata Mak Gondut yang sudah dua puluh tahun tinggal di sini. Ada aturan menteri anu bilang kalau udah dua puluh tahun bisa dijadikan hak milik, tapi  kepala staf lain  bilang nggak. 

Apapun aturannya, yang pasti shoooting Kepompong Mak Gondut harus secepatnya. Biar pojok-pojok rumah ini yang belum kena jamahan kamera bisa diabadikan. Jadi kalaupun harus pindah, mereka semua sudah ikutan eksis.


Tak hanya di ingatan.

Rokok, tungau, dan MSG

Tiga alergi gue. 

Ternyata susu, keju, dan makanan lain tidak apa-apa. Alergi gue tidak sebanyak orang-orang. Mungkin karena Mak Gondut di waktu kecil rajin memaksa makan kuning telor dan madu. Jadi perut kami kuat-kuat.  

Kalau bukan karena alergi,  hitam-hitam di bawah bibir ini kenapa? 


Karena kebanyakan makan.

Rabu, 08 Juni 2016

Filmmaker Gak Muda

"Inang, aku mau ngajak kau bikin omnibus film pendek," whatsapp-nya di suatu sore bengong kekenyangan.

Tentang climate change. Referensinya Dream Akira Kurosawa. Budgetnya memang cuma 30 juta, tapi tema dan mood omnibus ini pas banget buat  eksperimen pra bikin Dongeng Bawah Angin.

Tapi bikinnya bareng filmmaker 20an.

Apa gue gak usah ikutan? Lagian duitnya kecil banget.

Tiba-tiba jadi lupa kalau isunya penting dan gue lebih asyik dengan bayangan gue sendiri tentang betapa bagusnya film gue.

"Menarik... ayo!" whatsapp Bu Marintan yang selalu haus berkolaborasi dengan anak muda. Makanya mungkin karyanya selalu relevan.

Gue malu menyadari kok gue bisa gengsi bikin film bareng filmmaker pemula. Wong gua juga pemula.

Atau jangan-jangan gue malu ketahuan film gue biasa aja?

Dan semua ketakutan-ketakutan yang membuat gue tambah yakin kalau gue harus ikutan omnibus ini.

Change.

Senin, 06 Juni 2016

Stromboli Island

"Pinokio pada awalnya gak tahu dia maunya apa. Tapi karena ada godaan Stromboli Island, pergilah dia ke sana," kata Bu Indah mencoba menjelaskan kenapa semua orang ingin punya rumah.

Hanya saja Pinokio gak tahu kalau kegembiraannya tidak gratis. Dia harus menjadi budak di Stromboli Island, bersama anak-anak lain yang mukanya mulai berubah menjadi monyet dan babi. Begitu juga dengan kita yang berlomba-lomba punya rumah, kadang lebih dari satu. Kita tidak sadar Stromboli Island tidak gratis, harus dibayar dengan uang, waktu, atau wajah yang makin lama makin babi.

Dan sekarang banyak orang  tanpa sadar  menjadi agen-agen Stromboli.

"Indah, umurmu udah berapa? Haruslah punya rumah."

"Indah, kamu gak mau kawin? Ntar susah punya anak kalau udah tua."

Padahal tidak semua anak ingin punya rumah dan anak. Ada anak yang  gak tertarik dengan keriaan Stromboli Island. Lebih tertarik mengelana dunia dan pulang ke rumah Geppeto yang menyayanginya.

"Kok ibu bisa sih tinggal dengan orang tua?" tanya gue heran. Di tengah-tengah para korban mother issue dan father issue, sepertinya lebih enak jadi budak Stromboli daripada harus tinggal dengan father mother si sumber issue.

Respect dan Privacy, katanya.

Dua hal yang dihargai orang tuanya tapi mungkin tidak dimiliki banyak orang tua lain.

"Kok orang jaman dulu bisa ya tinggal dengan orang tua?"

Karena orang tua jaman dulu punya aset sosial dan aset finansial yang membuat keturunan mereka harus tinggal dengan mereka kalau gak mau kehilangan hak sosial dan finansialnya. Jaman dulu kan keluar dari rumah hanya untuk orang-orang yang dikeluarkan paksa karena kawin beda adat atau memalukan keluarga. Sekarang Stromboli Island  memanggil-manggil kita dengan janji hidup yang bahagia, bermartabat, dan merdeka. 

Apakah kita bahagia, bermartabat, dan merdeka? 60% gaji kita untuk tuan tanah. 100% waktu kita untuk tuan bos, gak ada waktu lagi mengerjakan mimpi. Lambat laun wajah dan kulit kita pun tak seindah dulu, penat jadi budak tak bisa ditutupi.

Dan semua ini bisa selesai kalau saja unit-unit keluarga lebih memelihara respect dan privacy di rumah-rumahnya, agar anak-anaknya tidak berkelana ke Stromboli Island.

Minggu, 05 Juni 2016

Pagar

Gue berjalan melewati jalan, gang, dan kuburan. Semua berpagar.

Ada yang rumahnya gak berpagar, asri serasi cenderung serupa dengan tetangganya, tapi kompleksnya berpagar. Ada yang gak bisa punya pagar, karena pintunya langsung berbatas gang. Tapi pintu itu dikunci ganda.

"Sejak kejadian 98, pagar aja tidak cukup. Sekarang semua jalan kecil punya portal tiap malam," katanya.

"Itu bukan karena makin banyak pencurian ya?" kataku.

Entahlah kenapa. Tapi satu yang gue rasakan di setiap pagar, portal, dan penjagaan.

Fear.

Jadi jika di sepanjang jalan, yang gue lihat hanya pagar... apa yang sebenarnya gue lihat?

No wonder love feels so hided away.

Sabtu, 04 Juni 2016

A Beautiful Tiny Step

Gue pengen bikin film yang adil.

Entah kenapa script ini gak juga bisa gue selesaikan. Hati ini malah pengen ke Bandung. Mungkin gue harus mengikuti kata hati, menemui seorang dosen arsitek yang mungkin akan bisa menjelaskan banyak kekusutan soal bagaimana agar semua orang punya rumah.

"Ke Bandung macet banget," kata seorang penduduk Bekasi yang lagi dijodohin Mak Gondut ama Deden. Tadinya gue males ikut, tapi karena kasian ama Papi ya ikut juga.

Untunglah gue ikut. Akhirnya gue memutuskan naik kereta aja.

"Ini tiket terakhir, Mbak. Gak bisa milih tempat."

"Bah beruntung kali," kata Chica yang mengantarkan ke stasiun on the way beli popok.

Bukan beruntung. Sepertinya gue memang harus ke Bandung.

Gue menghubungi si dosen anti kusut, tapi dia gak bisa hari ini dan besok. Ya udah gue berhenti pijit di Zen ajalah. Mumpung angkot ini lewat sana.

Selesai pijit, entah kenapa pengen banget ke Sate Pak Gino. Padahal gue gak makan daging.

Selesai makan, seorang adik kelas arsitek datang. Dia mau ketemuan dengan temannya yang datang dari Jakarta dan masih terjebak macet di tol. Sambil menunggu temannya, gue undang duduk sama gue aja. Tempat lain penuh.

Ini pertama kalinya gue ngobrol dengan dia. Di kuliah, dia cuma another adik kelas.  Ternyata dia punya jawaban atas banyak pertanyaan gua. Di usia yang masih sangat muda, minatnya dengan social housing membawanya pernah kerja di Perumnas, Developer damai yang tidak damai, tim Tsunami, tim yang mengusulkan pembangunan kampung deret sebagai alternatif penggusuran Kampung Pulo, sampai tim yang ikut menjadi konsultan di titik-titik pengembangan sekitar stasiun kereta cepat.

"Gue gak pengen punya rumah. Gue cukup ngekos aja," katanya.

Umurnya 32. Gajinya 7.5 juta. Harga kosannya 5% gaji. Ke mana-mana naik angkot dan sepeda. He seems like a true hipster, bukan hipster instagram.  Jangan-jangan hipster sejati memang cuma bisa ditemukan di kota murah seperti Bandung.

Tiga setengah jam kemudian, baru temannya sampai. Sepertinya tiga setengah jam ini memang waktunya gue  ketemu dia. Dan dia ketemu gue.

"Lo kayanya strategis banget," katanya.

"Bikin film yang gue mau mah gak bisa strategis. Cuma bisa beriman. Gak tahu di depan ada apa. Cuma bisa banyak berdoa sambil berjalan selangkah selangkah. Mungkin samalah sama lo, yang milihnya malah jadi arsitek social housing."

Sepertinya dia dapat sedikit kelegaan.

Padahal sudah lama gue tidak beriman. Terlalu mengandalkan kemampuan diri sendiri. Karir film gue dimulai dengan iman kalau film ini harus dibuat. Dan satu per satu langkah gue dituntun sampai film itu selesai. Tidak bagus, tapi mendamaikan hati ini soal kenapa kita diciptakan beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara.

Every step is a step of faith. And every step is a beautiful surprise. Seperti ketemu dia hari ini yang sama sekali di luar rencana.

Rencana gua.

Jumat, 03 Juni 2016

Kata Mamak

"Kok badanmu tambah besar?" sulut Mak Gondut ketika gue jemput di stasiun hampir tengah malam.

Hari ini gue jalani dengan resign dan napas teratur, berusaha tidak terganggu dengan segala kelucuan Jakarta. Berhasil. Tapi baru ketemu Mak Gondut 5 detik, napas gue langsung pendek-pendek.

"Kalau gak ada kerjaan, kau jadi supir Uber ajalah," sambung Mak Gondut begitu masuk mobil.

Tambah pendek.

"Ya bersyukur ajalah ada nona manisnya yang mau jemput-jemput kita," kata Papi melihat gue becut.

Gue tetap becut.

Mungkin gue bisa sebal karena gue sebenarnya setuju ama Mak Gondut. Gue pengen badan gue gak sebesar ini. Dan gue pengen gue udah mulai bikin film lagi. Dan gue pengen emak gue gak bikin gue berasa lebih worthless.

Pengen #1 dan #2 segara kerjakan!

#3 ?

Cuma gue yang bisa bikin gue berasa worthless.

Kamis, 02 Juni 2016

My Life Theme

"Saya memang family man banget. Kalau pisah ama keluarga pasti dicium pipinya. Bukan cipika cipiki ya. Beneran dicium," katanya saat QnA filmnya yang baru menang Critics Week Cannes sambil melirik kru cantik di kanannya yang sepertinya diproyeksikan menjadi keluarga.

Karenanya tema kehilangan keluarga sangat dekat dengan dia. Bertahun-tahun sekolah film di Jakarta membuat dia jauh dari mereka.

24, knows what he wants, and celebrates his simple life. Menonton dia membangkitkan pertanyaan buat gue yang sepertinya tidak tahu lagi maunya apa setelah terlalu lama hidup ribut dan mahal di Jakarta. Kayanya pas 24 gue malah tahu gue maunya apa.

What is my life theme?

"Film-film lo tuh mencari cinta," kata Ucu dulu mencoba menganalisa.

Mungkin. Gue kan memang paling suka nonton film cinta. Tapi bukan hanya cinta antara dua manusia horny. Cinta yang lebih luas, lebih condong ke persahabatan. Antara cowo dan cewe. Ibu dan anak. Musuh dan musuh.

Berarti bukan cinta, lebih tepatnya persahabatan. Persahabatan yang menerima apa adanya. Karena seumur hidup gue gak pernah merasa diterima apa adanya. Entah karena agama. Karena pilihan karir. Karena berat badan. Karena orientasi seksual. Karena suka salah ngomong.

Makanya gue juga gak bisa nerima orang apa adanya.

Mungkin dunia akan lebih indah kalau orang-orang lebih nerima satu sama lain apa adanya. Mungkin nggak.

Mungkin harus dimulai dengan gue menerima kalau dunia memang begini adanya.

Dan gue memang begini adanya.

Bah. Kok jadi basi. Terlalu bijaksana.

Mungkin bukan diterima, tapi diketawain ajalah. Lebih cocok buat orang-orang tak bijaksana seperti gua.

Rabu, 01 Juni 2016

22

Pagi ini gue bangun kepikiran ya olo Uma Thurman di Pulp Fiction itu udah 22 tahun yang lalu. Sandra Bullock di Speed juga. Dulu mereka seumur Jennifer Lawrence. Sekarang udah hampir 50.

Kayanya gara-gara kemaren gue baca artikel di Facebook.

It was 1994. Gue masih 11, SMP kelas 1. Diajak Mami nonton Forrest Gump yang gue ketiduran karena udah kemalaman. Di bioskop murahan yang ngantrinya dikit dan sekarang udah kebakaran, gak kepikiran suatu hari gue bakal pengen bikin film kaya Forrest Gump.

Tapi tahun itu gue bikin drama di kelas, buat tugas Bahasa Indonesia. Gue sutradara, penulis, merangkap aktor untuk 3 peran sekaligus. Gue gak inget lagi ceritanya apa, something about guru dan murid. Yang gue inget malah ekspresi  pacar teman gue pas gue gak sengaja expose kutang ketika berusaha ganti baju di luar kelas untuk peran ke tiga.

Dia tutup mata. Padahal gue belum masanya pakai BH.

22 tahun berlalu, gue gak pernah berhubungan lagi dengan teman-teman SMP. Tapi poster Pulp Fiction masih tergantung di dinding kamar. I still think Shawshank Redemption, Forrest Gump, and Pulp Fiction great.  Speed nggak great sih, tapi Sandra Bullock tetap hot.

Uma Thurman juga.

Gue masih malu expose kutang depan umum.

Gue pengen mulai sekarang sampai 22 tahun ke depan nyaman expose kutang. Biar almost 50 dan tetap hot kaya Sandra Bullock dan Uma Thurman.