Kamis, 27 Februari 2014

Teman

Naik ojeg Matraman Cipete ternyata berkhasiat membuat paha zig zag dan pantat bahenol reloaded. Semua demi subtitle Selamat Pagi Malam. Subtitle Demi Ucok dia anggep gagal karena  banyak yang gak nyampe maknanya, jadi dia ngotot mau bantuin meriksa subtitle sebelum Sabtu dibungkus.

Setelah ini masih harus melototin credit title akhir yang udah dua minggu gak bungkus juga. Selalu ada s atau d atau link i tunes yang tertinggal.

"Emang kaya gitu bok!" kata si teman menceritakan filmnya sendiri. Terlihat remeh temeh tapi penting bagi yang punya nama.

"Sayang ya dia terlalu cepat menikah," katanya menerawang sambil menonton salah satu pemeran Selamat Pagi Malam. Tanpa perlu bertanya siapa gue langsung mengendus cinta lain di balik tawanya.

Memang susah menyembunyikan rahasia dari dia. Satu Jakarta temannya. Makanya mungkin dia bisa jadi produser yang baik. Butuh media, tinggal telpon teman. Butuh uang, telpon teman. Butuh artis, telpon teman.

"Bawain yoga mat dong," telpon seorang teman yang sudah seharian pegal melototin  suara SPM.

Tadinya mau pulang. Udah dekat kalibata.

Mulai membayangkan naik ojeg cipete matraman di tengah kemacetan malam.

"50 ribu ya, bang."

Rabu, 26 Februari 2014

Sofia

Hari itu mereka akan merekam suara para penyanyi untuk menghiasi Selamat Pagi Malam, tapi si penyanyi dangdut tak datang. Akhirnya Sammaria yang kebagian rejeki ikut berdendang.

Harus punya nama panggung dong. Sammaria kurang menjual untuk dipajang di Lone Star, bar dangdut khayalan yang ternyata ada dalam kenyataan Jakarta.

Bagaimana kalau Zahara? Seperti Gael Garcia Bernal di La Mala Educacion.

Tapi Sammaria bukan banci. Dia akhirnya memilih nama lain, Mademouselle Gendut, in memoriam akan sebuah cinta berekor yang teringat olehnya setelah melihat lirik lagu yang harus dinyanyikannya.

Dia tertawa-tawa menulis lirik di Ipad-nya,  tapi  hati Sammaria teriris sedikit.

"Kalau saja kita bertemu lebih dulu. Sebelum cincin melingkar di jarimu...," nyanyi Sammaria.

"iii di "jarimu' bisa lebih didangdutin gak?" tanya si sound engineer.

"Sebelum cincin melingkar di jariiiiiimu."

Si sound engineer bertepuk tangan.

"Mungkin kita kan berdua hidup dalam bahagia... Wahai Sofia, hidup dalam durjanaaaa..."

Kali ini tanpa disuruh Sammaria sudah ngageol. Mungkin kalau nanti tak  jadi sutradara, Sammaria bisa menjadi penyanyi dangdut di bar kelas dua.

"Habiskan malam berdua denganmu bercinta. Meski ku bukan yang pertama bagimu Sofia. Bagai karang dihantam ombak badai samudera... tak akan patah, cintaku takkan musnah."

Tapi Sammaria bukan karang dihantam ombak badai samudera. Dia hanya wanita lemah yang berharap cintanya cepat patah dan segera musnah.

"Bintang yang sendiri... datang malam ini..."

Gantian dia yang menyanyi. Dia kebagian lagu yang sendu mendayu dan kemungkinan laku dijual di i-tunes. Beda nasib dengan  lagu Sofia yang cuma dijadikan background samar-samar nun jauh dari dialog para pemeran utama.

"Bintang yang sendiri itu gue tulis untuk lirik karena line yang gue paling inget di film ini: Selamat datang di Lone Star," katanya di sela-sela interview Behind The Scene.

"Baru putus tuh bok," bisik mak comblang mak comblang dadakan.

Sensitif, good looking, dan baru putus. Mungkinkah dia the next Sofia?

"Ternyata sendiri enak juga ya," katanya setelah semua rekaman berlalu.

"Iya. Enak," jawab Sammaria.

Sammaria kembali mengerjakan credit title Selamat Pagi Malam.

Selasa, 25 Februari 2014

My Third Act Twist

I need a third act twist.

Kalau di film Matrix, Third Act Twist itu adalah kejutan menjelang akhir film. Ketika tiba-tiba Trinity membisikkan ke Neo yang harusnya udah mati kalau dia diramalkan akan mencintai The Chosen One.  Makanya Neo gak mungkin mati karena Trinity cintanya ama doi.

Langsung bangkitlah si Neo dan sejak saat itu peluru apapun tidak lagi bisa menembusnya.

Semua karena dia akhirnya percaya kalau dia The Chosen One. Padahal tadinya dia gak percaya kalau dia The Chosen One, dan ramalan pun ikut mengatakan demikian.

Ternyata semua ramalan pun bisa berubah tergantung apa yang kita percaya. Ketika Neo percaya dia The Chosen One, ramalannya pun ikut berubah.

Ah tapi itu kan film. Di kehidupan nyata mana bisa percaya doang.

Yesus juga pernah bilang kalau kita percaya kita bisa memindahkan gunung. Yesus bukan film kan?

Ah tapi itu kan Yesus. Dulu bos gue di Singapur bilang percaya itu harus tetap pakai logika.

Padahal katanya dia percaya Yesus.  

Andaikan dia tahu kalau semua realita kita cuma pantulan-pantulan cahaya yang telat sampai.

Kita semua hanya masa lalu.

Lihatlah angkasa dan lihatlah bintang. Semuanya masa lalu. Bintang-bintang itu sudah punah beribu tahun yang lalu.  

Jadi gunung mana yang mau kita pindahkan di Third Act Twist kita?

Mbak Diet?

"Mbak diet?" tanya mbak-mbak Kuring Something di lantai bawah Kalibata setelah tiga hari berturut-turut gue mesen toge dan tahu tanpa nasi.

Gue cuma menjawab dengan senyuman manis tanpa menggubris sarannya untuk berkunjung ke klinik belakang.

Inilah akibatnya kalau makan siang toge dan tahu doang tapi di atas nanti masih curi-curi makan coklat curian dari kulkas Sunny. Diet diet tinggal impian.

Seumur hidup gue selalu diet dan gak pernah langsing. My glory days adalah episode 3 Demi Turki, 78 kg dan abis itu downfall. Sebelum episode itu gue yakin  gue pasti bisa 60 kg. Udah dapet gym gratis, baju gratis, iming2 tur ke turki, bukannya menyempit malah melebar.

"Iya lo tambah gendut deh," kata para produser Kompas TV setelah 3 bulan tak bertemu. Jas 600 rebu hasil diskonan Mark n Spencer tak berhasil menutupi timbunan lemak akibat stress  kurang dibelai.

Tapi diet bukan masalah biar ada yang mau ngebelai. Dada kiri mulai nyut-nyutan. Jantungan di umur 30 gak akan menyenangkan karena yang lain belum. 

Tapi meninggal umur 30an juga kayanya seru. Yesus juga 33 udah mati kan. Gak usah lama-lamalah hidup.

"Temen gue baru meninggal. Di ketahuan kanker tapi gak mau dikemo. Ya udah dinikmati aja divonis 6 bulan. Eh tadi mati deh," katanya sambil minta maaf karena dia telat.

Gue juga kayanya kalau sakit bakal gitu deh. Gak usah masuk ruamah sakit. Ya dinikmati aja hari-hari terakhirnya.

Kalau metong gue gak bisa bikin Raja Kata dong?

Ya udah jaga badanlah bo. Apa susahnya sih nahan mulut dikit?


Lebih baik dipakai berkata-kata.

What is your real place in the film industry?

Question #1: Do you really care about money?

Gue langsung menjawab "no" tanpa pikir panjang. Gue mengikuti panah "no" yang membawa gue ke Question #2 bagi para no.

Question #2: Can you really be excited about someone else's idea?

Gue bingung antara "no" atau "sure, but i will make  it mine". Setelah mengingat-ingat petualangan gue akhir-akhir ini dengan ide orang, gue akhirnya memilih make it mine.

#3 Are you unknown and/or female?

Gue nggak unknown lagi sih. But I am female, so I guess gue harus memilih bagan "Yes". 

Bagan yes membawa gue ke jawaban akhir.

My real place in the industry is:  Indie Filmmaker.

Kalau saja gue menjawab no (I am not female), tempat gue akan menjadi: Director.

What? Karena gue wanita jadi gue dikutuk menjadi indie filmmaker?

Tapi tes ini kan buatan Amerika ya bo. Di mana sutradara sehebat sofia Coppola aja masih diaggap sutradara kelas dua. Di Indonesia beda donggg.  Di sini, mau cowo apa cewe semua dikutuk jadi  indie filmmaker.


Damn.

Art In Jakarta

"Teh, liat deh nih," katanya dengan semangat memamerkan twitter dengan profile picture para Satpam tanpa wajah dan tanpa kolor.

"Berani berani banget sekarang...," tambahnya sementara film Selamat Pagi Malam masih di menit 48.

Sepuluh menit kemudian, dia sudah pindah ke twitter kuli-kuli yang juga tak berkolor dan tak berwajah.  Padahal tak semua orang berkesempatan menonton film masterpiece Lucky Kuswandi  yang bercerita tentang kotanya sendiri itu.

"Di Jakarta seni gak dihargain. Gue jadi patron of the art saja," kata karakter Naomi dari layar TV sementara dia mulai pindah ke twitter polisi lokal yang juga tak berkolor.

Sebelum film dimulai, gue mengira dia akan berbeda. Dia bisa bicara tentang para oscar contenders dan siapa yang akan menang menurut analisanya dengan sangat fasih, sefasih para penulis di Variety.

Gue kira dia suka nonton film. Ternyata dia lebih suka twitteran. Dan mungkin juga suka baca Variety, makanya bisa fasih tanpa perlu menonton.

Mungkin bukan salah dia. Memang filmnya yang membosankan.

"Filmnya bagus bangetttt..." katanya di akhir film sambil menjanjikan dukungan bagi film ini dari perusahaannya.

"Lo gak tersinggung?" tanya gue pada Lucky sambil beberes speaker. Kita harus keluar cepat-cepat dari ruangan ini kalau gak mau nambah 750 ribu lagi. 

"It's jakarta. What do you expect?" jawab Lucky acuh tak acuh.  Yang penting mereka mau support filmnya.

There is still art in Jakarta.  It's just hidden between the Jak and the A. 


Kutuk Rambut Pendek


"Rambutnya keren, Mbak," katanya memuji highlight 50 rebuan karya Salon Cimey yang membuat rambut pendekku lebih bertekstur.

Mungkin pujiannya cuma demi melancarkan jalannya sebagai salah satu peserta kontes di mana gue jurinya, tapi gue memilih percaya saja dan menjalani hari ini dengan lebih berasa masa kini.

"Jelek kali . Panjanginlah," kata Mak Gondut suatu hari melihat rambut gue yang semakin hari semakin pendek. 

"Mami juga dulu rambutnya pendek,"  kata gue mengingat gosip Inang Tua dulu Mak Gondut suka dikejar-kejar Opung karena potong rambut kependekan.

"Tapi nggak sependek kau. Nanti ditasir cewek cantiklah kau," raung Mak Gondut yang langsung gue sambut dengan amin amin aminnn...

"Rambut lo panjangin dong, ntar gue tambah naksir," kata seorang cewe cantik sambil tertidur di bahu gue.

Mungkinkah dia cewe cantik yang disebut-sebut di dalam kutuk Mak Gondut? 

Hari ini rambut gue masih pendek, tapi cewe cantik yang itu sudah tertidur di bahu orang lain. 

Gue memandangi alur jambang yang mulai melebat. Dia lebih suka kalau jambang gue pendek.  Mungkin sudah waktunya memotong rambut setiap awal bulan agar kutuk Mak Gondut segera kesampaian.


Sebentar lagi awal bulan.

Kamis, 20 Februari 2014

How do we fix Indonesia?  

"Just kill anyone over 30," katanya gampang.  

Sebagai warga negara Singapura keturunan Indonesia, dengan gampang dia bisa mencium kebobrokan akut melihat truk rongsokan Pertamina yang belum diupdate dari entah tahun kapan lewat membawa tabung-tabung hijau tanpa pengamanan. Sementara Petronas yang  sekecil itu bisa punya tower tertinggi di Asia Tenggara.  

Saat itu gue 26. Jawabannya terdengar seperti sebuah solusi radikal yang seru dibikin film noir dengan warna hitam putih merah dan dibintangi Bruce Willis.  

Tapi ketika gue sekarang 30, solusinya tidak selucu dulu. Gue sekarang sudah masuk golongan harus dibasmi demi kemajuan Indonesia.  

Gue gak mau dibasmi.  

Melihat wajah para ketua partai peserta Pemilu 2014, tampaknya tidak akan banyak perubahan di 5 tahun mendatang. Dan melihat generasi muda yang semakin ingin menjadi orang Korea, belum tentu yang di bawah 30 bisa memperbaiki apapun.

Tapi ya tentunya yang bisa dirubah hanya diri sendiri jadi sudahlah tak usah menghakimi.

Bikin film aja deh.

Kalau Kamu sudah muak dengan dunia ini dan tiba-tiba pengen mendatangkan air bah lagi, siapa yang Kamu pilih untuk selamat? Same old rules. Cuma bisa milih satu keluarga ya.

Keluarga Jokowi?  

Keluarga Ahok?  

Keluarga Ibu Risma?  

Afghan?  Biar gak pada selingkuh?

Papi?  Biar gue ikut selamat. Hehehe.

Ariel? Biar keturunan selanjutnya cakep-cakep dan cepat beranak pinak.

Secara doi kan Noah ya bok. Jadi le histori nya le repete gitu deh. 

Aduh gak mudah ya milih satu.

Kok dulu bisa Noah?

Rabu, 19 Februari 2014

Intuisi


Dulu gue mengambil keputusan mengikuti penciuman. Nyari kerjaan, nyari teman, nyari tempat, selalu gue endus-endus.  If it smells like home, then it is home.

Gue tahu gue akan kerja di Singapur begitu gue melihat skylinenya dari feri. Gue tahu gue akan kembali ke Sony Center pertama kali gue melihat kubahnya. Dan gue tahu gue akan kembali ke LA, Paris, Penang, dan Danau Toba.

Yang bukan tempat gue: Serpong, Depok, dan Hawaii.

Tapi semakin dewasa, gue mulai meragukan penciuman gue. Terlalu banyak tempat/ teman/ kerjaan yang tidak sesuai penciuman. Mungkinkah ini cuma produk dari insecurity gue sendiri? Mungkinkah gue cuma kebanyakan halusinasi? Ataukah mereka memang bukan jodohku?

Padahal kalau diingat-ingat memang akhirnya semuanya tak berakhir sesuai harapan. Mungkin kalau gue lebih banyak mengikuti penciuman, gue akan lebih banyak waktu menulis dan lebih sedikit mengemis.

Tanpa perlu mengendus, kantor ini sebenarnya tak enak diajak berkawan. Pegawainya duduk berderet di meja-meja yang diatur kesempitan. Tidak ada senyum dan kehangatan, padahal mereka menghasilkan jutaan dari jualan hiburan.

Dan gak mau ngasih password wifi.

Kenapa gue masih di sini?


Well, mungkin gak selamanya gue harus menulis. Kadang gue butuh mengemis, agar kelak ada yang ditulis.

Tapi senyum si bapak ini manis kali. 

Selasa, 18 Februari 2014

www.kepomponggendut.com

Menjelang soft opening film Selamat Pagi Malam bulan depan, gue beberes website kepompong gendut. Di era digital ini, website ibarat wajah yang membuat klien jatuh cinta saat berkenalan. Kalik-kalik aja jadi banyak yang nawarin kerjaan.

Template homepage www.kepomponggendut.com ada dua belas kotak portofolio, padahal film kepompong baru empat (termasuk 1 TV series). Lebih banyak kotak diisi film belum jadi: Oma Kepo, Dongeng Bawah Angin, Love Expired, Kepompong Mak Gondut, dan my ultimate movie Raja Kata.

Apa gue hapus aja biar klien gak ilfeel?  Biar mereka yakin gue bisa ngerjain iklan-iklan mereka.

Tapi kalau gue apus, nanti gue malah lupa dan gak lagi bikin film-film ini. Keasyikan ngerjain iklan yang bayarannya yummy.

Berbeda dengan manusia kreatif umunnya, gue tidak dikaruniai ide yang banyak. Cuma beberapa. Tapi walaupun cuma beberapa, kalau sampai gak kesampaian, gue akan mati penasaran.

Di saat bikin film sedang tidak sedang menghasilkan, seharusnya gue bisa lebih fleksibel dan mengerjakan iklan-iklan yang bisa membuat gue makan.   

I am a story teller after all. It doesn't have to be a movie. Bisa lagu. Bisa webseries.

Gue kembali berpikir: apus... nggak...

Gak apus ah. Harus jadi nih film-film. Kasian ntar orang-orang kalau gue gentayangan.

Gue menambahkan satu kotak: commercials. Kasian gue kalau mati kurang makan.
   
Cus.

*tangan diangkat manggil-manggil uang